Kalau sudah berbicara tentang rentang waktu, kita tak lagi berbicara soal mitos atau fakta, melainkan probabilitas. Dengan gambaran strategi yang demikian, kita bisa memahami betapa orang-orang di luar sana memburu strategi investasi hingga membahasnya ke rentang bulan-bulan tertentu. Sell In May and Go Away jelas merupakan saran untuk melepaskan saham di bulan Mei dan masuk kembali di bulan November nanti. Kita akan bahas sedikit soal ini.
Saya mengakui bahwa pasca bulan Oktober, trading-investasi menjadi sangat menarik karena kerap kali menghasilkan gain yang lumayan. Dan investasi dari Januari ke Maret juga memberikan hasil yang tidak bisa dibilang sedikit. Tapi, alih-alih mengatakan bahwa itu merupakan strategi indikator Halloween, justru jauh lebih tepat kalau itu diakui sebagai faktor kebetulan semata-mata. Alasan utamanya ada 2, yaitu :
- Kita tidak pernah tahu kapan titik terendah dari indeks saham. Andaikan titik terendah IHSG ternyata di bulan Juni, misalnya, tentunya bulan Juli menjadi sangat menarik buat trading-investasi.
- Kita harus tepat memilih saham. Andaikan saham yang dibeli tidak berhasil mencetak kinerja yang bagus, tentunya sekalipun berinvestasi di rentang November-April, tetap saja hasilnya mengecewakan.
William J. O'Neil menuliskan bahwa untuk berinvestasi di saham, kita kudu mengikuti aturan, bukan kalender. Ini jelas menyindir mereka yang menggunakan indikator Halloween sebagai strategi investasinya. Jangankan rentang waktu November-April, yang jelas-jelas tahu kapan rilis pengumuman suku bunga Bank sentral pun tak menjamin berguna bagi investasi jangka pendek.
Saya pribadi tidak pernah berfikir buat menerima mentah-mentah strategi Sell in May and Go Away. Jauh lebih bermanfaat kalau kita tahu apa logika di balik bulan-bulan tersebut. Tanpa itu, semua hanya jatuh pada spekulasi. Lantas, apakah memang ada dasar logika di balik bulan-bulan itu? Kalau dicari korelasinya, ya bisa jadi ada, tapi apapun itu saya yakin bahwa ia bukanlah variabel terikat, melainkan variabel bebas. Sama seperti variabel-variabel lainnya, semua bergerak relatif pada kondisi yang sedang berlangsung. Inilah kiranya menjelaskan kenapa indikator semacam ini lebih pantas disebut spekulasi ketimbang strategi.
Memang sudah ada yang melakukan uji statistik pergerakan harga IHSG dan melakukan perbandingan pada rentang waktu November-April dan Mei-Oktober. Hasilnya rentang November-April memberikan hasil positif yang lebih sering ketimbang Mei-Oktober. Sayangnya uji tersebut tidak dilakukan pada rentang-rentang waktu yang lain, misalnya September-Februari, Januari-Juni, dan sebagainya. Padahal semua rentang waktu tersebut harus diuji untuk mendapatkan rentang terbaik. Dan jika memang terbukti rentang waktu Mei-Oktober sedemikian jeleknya, maka barulah bisa dikatakan Sell in May and Go Away. Namun, kalau dilihat dari model strategi semacam itu, sekalipun dilakukan uji terhadap rentang-rentang waktu yang lain, hasil kesimpulannya tetaplah spekulatif.
Kenapa bisa demikian? Di Kilas Balik : Jalan Berliku Analisis Saham saya pernah menuliskan sbb :
"Seperti kamu melihat gelembung-gelembung air, lalu mengambil kesimpulan bahwa sejarah akan berulang dimana air akan mengeluarkan gelembungnya. Maka kamu ambillah segelas air lalu tunggu. Apakah muncul gelembung? Tidak. Lantas, darimana asal gelembung itu? Jadi sejarah hanya akan berulang kalau penyebabnya pun berulang juga."
Jadi bukan airnya yang dipersoalkan, melainkan penyebab terjadinya gelembung itu. Bukan bulannya yang dipersoalkan, melainkan penyebab terjadinya situasi yang kebetulan muncul di bulan itu. Cari tahu dulu soal penyebabnya, sehingga nantinya kamu bisa menandai pasar, tak peduli bulan berapapun itu. "Trade your stock first. The market second."
Semoga bermanfaat.
Post a Comment