Awalnya ide tentang konsep akumulasi-distribusi dibuat untuk membantu para pelaku pasar memahami pergerakan harga. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, pergerakan harga itu hanya ada 3 yaitu naik, turun, dan mendatar. Saat harga bergerak mendatar sebelum akhirnya naik, maka itu disebut fase akumulasi. Harga yang sedang naik itu sendiri disebut fase mark up. Saat harga bergerak mendatar sebelum akhirnya turun, maka itu disebut fase distribusi. Harga yang sedang turun itu sendiri disebut fase mark down. Nah, dengan memahami konsep dasar ini, kita diharapkan bisa sabar di saat harga sedang di fase akumulasi. Yang sering kali menjadi soal adalah apa iya harga tersebut sedang di fase akumulasi. Bagaimana kalau ternyata bukan di fase akumulasi, melainkan distribusi? Alih-alih berharap harga akan naik, bisa-bisa harga malah dihajar turun. Yang seperti ini bisa bikin trader jadi manyun karena analisanya jadi jungkir balik.
Analisa akumulasi-distribusi banyak menyasar pada aksi jual-beli oleh asing. Ini sebenarnya bukan sebuah keharusan, karena yang namanya akumulasi-distribusi bisa dilakukan oleh asing maupun lokal. Memang dalam banyak saham, aksi akumulasi-distribusi oleh asing lebih dominan dan lebih berpengaruh pada pergerakan harga. Tapi tak berlaku pada semua saham. Pada kondisi dimana asing tak terlalu berpengaruh di situ, maka aksi akumulasi-distribusi oleh lokal justru yang menjadi pemicunya. Saham yang mana sajakah itu? Silahkan cek masing-masing di grafik.
Untuk jelasnya, saya tampilkan contoh saham WIKA.
Grafik Akumulasi-Distribusi di WIKA |
Karena total volume akumulasi ini sangat bergantung pada periode yang digunakan, maka penilaian ini akan berbeda-beda pada masing-masing orang. Berapakah periode minimum dan maksimum untuk akumulasi-distribusi ini? Saya membatasi periode minimumnya adalah 5 hari. Kalau kurang dari 5 hari, kemungkinan itu bukan aksi akumulasi-distribusi, melainkan mark up dan mark down. Sedangkan periode maksimumnya adalah 3 bulan. Maka periode 200 hari seperti yang sering digunakan menjadi meragukan. Alasannya, tidak masuk akal mengakumulasi saham dalam kurun waktu lebih dari 3 bulan. Apa harus menunggu rilis laporan keuangan kuartal depan? Atau mungkin tahun depan? Non sense. Periode akumulasi-distribusi yang sedemikian singkat inilah yang membuat para pelaku pasar merasa kesulitan untuk mendeteksi lebih awal dan biasanya baru mengetahui saat harga sudah memasuki fase mark up atau mark down. Demi mengantisipasi fase singkat itu, kebanyakan kita berinisiatif melakukan spekulasi untuk mengakumulasi saham tertentu lebih awal, kendatipun saham tersebut masih dihajar turun. Kalau kamu kebetulan menemukan saham yang terlihat bergerak mendatar sepanjang tahun, maka jangan buru-buru mengasumsikan bahwa sedang terjadi akumulasi di saham tersebut. Ada banyak saham berfundamental buruk yang bergerak mendatar. Saya pernah membaca kisah seorang investor yang memegang sahamnya 5 tahun sebelum akhirnya saham tersebut rally cukup tinggi. Apakah 5 tahun itu masa akumulasi saham tersebut? Tentu saja tidak. Tapi kita tampaknya tak punya banyak pilihan selain berani memegang saham tersebut lebih lama dengan penuh kesabaran sambil meyakinkan diri sendiri bahwa suatu hari nanti laporan keuangannya pasti akan kinclong. Sayangnya konsep seperti itu tak begitu saya sukai. Karena itu saya lakukan pendekatan analisa lain.
Mengingat analisa akumulasi-distribusi condong ke studi korelasi, maka umumnya yang ingin dicari itu adalah divergensi antara harga dengan garis akumulasinya. Jika harga bergerak mendatar, sedangkan garis akumulasinya bergerak naik, bisa disimpulkan bahwa sedang terjadi akumulasi di saham tersebut. Sebaliknya, jika harga bergerak mendatar, sedangkan garis akumulasinya bergerak turun, bisa disimpulkan bahwa sedang terjadi aksi distribusi di saham tersebut. Selesai masalah? Hohoho... tak semudah itu. Coba perhatikan grafik WIKA di atas.
Saya menandai tanggal 19 Mei 2016 dengan garis akumulasi oleh asing 20 hari dan 100 hari. Pada garis 20 hari asing mencatatkan -5,4 juta lembar dan 100 hari -35 juta lembar. Harga bergerak turun mengkonfirmasi fase distribusi. Secara logika akumulasi-distribusi, pada posisi ini belum disarankan untuk beli karena harga bisa berpotensi turun lebih jauh. Tapi apa yang kemudian terjadi? Harga rebound kencang dan terus berlanjut, meninggalkan trader yang melongo karena bingung dengan apa yang sedang terjadi. Kapan akumulasinya? Kok bisa harga rebound tajam seperti itu tanpa didahului oleh aksi akumulasi? Maka, yang jelas pada grafik ini memperlihatkan bahwa aksi mark up bisa terjadi dalam waktu dekat mengikuti aksi mark down. Dan mark down itulah yang menjadi satu-satunya kesempatan buat mengakumulasi. Hmm... semakin sulit, bukan? Dan itu semua baru merupakan titik awal.
Tanpa pernah tahu apakah sebuah saham sudah diakumulasi sebelumnya, maka bagaimana kita bisa meyakinkan diri kita bahwa saham yang diincar itu akan melanjutkan kenaikannya atau tidak? Katakanlah seperti kasus WIKA di atas. Siapa yang menyangka WIKA bisa rebound dari titik terendah 2220 ke titik tertinggi sekarang ini 3390 dalam kurun waktu kurang dari 2 bulan saja, padahal tak terlihat ada aksi akumulasi sebelumnya? Dan bisakah kita mencari tahu apakah WIKA sedang didistribusi sekarang ini atau justru sedang re-akumulasi?
(Bersambung)
Post a Comment