There's a saying that the market climbs a wall of worry. Ada banyak sekali alasan kenapa pelaku pasar meyakini bahwa tiap kali indeks saham naik, maka semakin besar keraguan di dalamnya. Dinamika yang terjadi di pasar modal yang sudah berlangsung puluhan tahun ini menunjukkan bahwa satu-satunya yang pasti di pasar modal ini adalah ketidakpastian itu sendiri. Satu-satunya yang rational di pasar modal itu adalah irrational itu sendiri. Dan satu-satunya kestabilan di pasar modal itu adalah ketidakstabilan itu sendiri. Ini ironis memang.
Tiap kali indeks bergerak naik atau turun, kita berkeyakinan bahwa ia sedang mengikuti valuasi wajarnya. Itulah yang sering kali diajarkan di buku-buku fundamental. Lain cerita dari segi teknikal, dimana naik turunnya indeks dihubungkan dengan daya beli dan jual pelaku pasar, oversold dan overbought, supplai dan demand. Seolah-olah segala sesuatu bergerak secara masuk akal dan tak ada yang perlu diperdebatkan di situ. Baiklah, saya tidak sedang memperdebatkan apapun. Tapi cobalah fikirkan, jika valuasi sebuah saham A berada pada harga Rp7000, dan harga bergerak naik dari harga Rp5000 menuju Rp7200, apakah kita cukup yakin bahwa harga akan bergerak naik lebih tinggi lagi? Bisa ya bisa tidak. Kalau ternyata harga bergerak turun setelahnya, katakanlah Rp6300, dimana letak kewajaran valuasi harga Rp7000 sebelumnya? Kalau ternyata harga bergerak naik lebih tinggi, katakanlah Rp10000, dimana letak kewajaran valuasi Rp7000 sebelumnya? Jawabnya tentu sederhana, valuasi mengikuti kinerja emiten. Itu kalau pasar benar-benar memberikan harga yang sesuai dengan valuasinya. Tapi bagaimana pula jika harga tidak pernah bergerak searah dengan valuasinya? Dimana letak logikanya itu? Kenapa dalam banyak kasus harga tidak bergerak sesuai valuasinya?
Naik turunnya valuasi saham dipengaruhi oleh kinerja emiten yang bersangkutan. Lantas apa yang membuat kinerja emiten tersebut naik atau turun? Maka bisa kita jawab bahwa dalam bisnis tentu ada pasang surut, laba terkadang naik dan terkadang bisa turun. Lanjut, apa yang membuat bisnis tersebut pasang surut? Jawaban yang tegas, ketidakstabilan (inequilibrium). Ya ketidakstabilan. Dan ketidakstabilan itulah yang disebut 'normal' atau 'wajar' atau 'masuk akal' oleh pelaku pasar, padahal yang sebenarnya itu tidak normal, tidak wajar, dan tidak masuk akal (irrational). Ketika pasar menganut dogma bahwa ketidaknormalan itu adalah normal, maka tidak salah jika John Maynard Keynes mengatakan "Markets can remain irrational longer than you can remain solvent."
Di atas harga wajar / Terlalu Mahal (Overvalued)
Salah satu bukti ketidakrationalan pasar saham itu adalah dikenalnya istilah undervalued (terlalu murah) dan overvalued (terlalu mahal). Inilah yang menjadi alasan utama kenapa banyak orang yang takut saat indeks saham naik semakin tinggi karena menurutnya indeks saham sudah overvalued. Satu-satunya yang bisa menjawab keraguan itu adalah menemukan alasan bahwa indeks saham belum overvalued. Jika alasan yang kuat tidak ditemukan, maka kita akan tetap takut dan semakin takut saat indeks saham bergerak naik lebih tinggi, dan secara terpaksa mengikuti kegilaan yang tengah berlangsung dengan hati yang tak tenang. Saya yakin sistem trading pun akan terpengaruh gara-gara ini. Apakah pelaku pasar ini sedemikian bodohnya sehingga menjual saham di bawah harga wajarnya dan membeli saham di atas harga wajarnya? Menjelang krisis 2008, sudah banyak investor yang mulai khawatir dan mencurigai bahwa kenaikan tersebut sudah keterlaluan karena tidak didukung oleh fundamental yang solid. Lucunya, tak banyak suara pesimis saat itu. Yang ada hanya optimis, euforia, dan profit saban harinya. Ketika indeks saham meluncur turun, semua bertanya-tanya ada apa dan sampai kapan penurunan tersebut akan berlangsung. Ini sudah pasti tidak lagi rational dan itulah yang dianggap normal, diyakini seolah-olah dogma agama yang takkan luntur dimakan masa (baca : berlaku selamanya). Kamu akan melihat dalam siklus ekonomi yang 'normal', indeks saham akan bergerak naik dan turun.
Hal yang persis sama ketika banyak yang memprediksikan indeks saham akan rontok pada awal tahun 2015 ini dengan alasan yang sudah overvalued. Dengan gamblang saya jawab kalau untuk tahun 2014 indeks saham segini memang sudah agak mahal, tapi belum kemahalan. Untuk tahun 2015 indeks saham segini masih terhitung wajar. Prediksi saya IHSG bisa menyentuh 6000 tahun 2015 ini. Setelah itu bagaimana? Ya belum tahu. (Update : Prediksi ini akhirnya meleset. Penjelasannya saya tuliskan di sini.)
Gelombang Koreksi (Corrective Wave)
Saya tidak tahu kapan persisnya istilah koreksi digunakan untuk menyebut penurunan harga saham. Contoh, IHSG terkoreksi -0.5% artinya IHSG turun -0.5%. Tapi kenapa disebut sebagai koreksi? Koreksi itu sendiri berarti memperbaiki kesalahan yang sebelumnya dilakukan baik sengaja maupun tak sengaja. Nah, apakah kenaikan harga itu merupakan sebuah kesalahan? Kalau memang bukan suatu kesalahan, kenapa penurunannya disebut koreksi? Jadi di bawah alam sadar pelaku pasar tanpa sengaja sudah ditanamkan bahwa setiap kenaikan harga itu bersifat irrational, sehingga berpotensi untuk turun dalam rangka mengoreksi kenaikan tersebut. Pada gilirannya saat indeks saham naik semakin tinggi, maka otak trader dengan cepat mengatakan bahwa ini sudah tidak wajar dan tidak masuk akal sehingga berharap akan segera muncul koreksi, tanpa memikirkan kemungkinan bahwa kenaikan seperti itu wajar dan tak perlu dipermasalahkan.
Sentimen Buruk
Buat mereka yang gemar berburu berita (news hunter), biasanya punya sisi pandangan yang lain. Misalnya mencoba menerka-nerka apakah kondisi indeks saham sekarang ini masih tergolong 'sehat' atau 'sudah mengkhawatirkan'. Cara ini digunakan karena mereka sebenarnya tidak percaya pada grafik saham yang mungkin lebih banyak menipu mata ketimbang memberikan fakta yang benar. Terang saja, karena yang pasti di pasar saham itu adalah ketidakpastian itu sendiri, sehingga dengan mencoba mendalami informasi-informasi dari beragam kondisi makro di luar sana diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih akurat untuk indeks saham. Apakah cara ini selalu berhasil? Tidak juga. Bahkan dalam banyak kesempatan para news hunter ini harus berlapang dada karena prediksinya meleset jauh.
Hmm.. tampaknya banyak sekali hal yang bisa dituliskan di sini. Saya tidak sedang menakut-nakuti. Lagipula, kalaulah memang pasar saham itu sedemikian meragukannya, kenapa saya harus berlelah-lelah untuk terjun dan mengadu nasib di sini? Kamu tentu mengira bahwa saya adalah manusia pesimis yang gagal di bursa saham. Kamu keliru. Saya justru banyak diuntungkan dengan sistem ini. Saya memahami dinamika pasar saham ini walaupun dalam hati kecil saya mengkritik. Bukan apa-apa, pastinya akan ada banyak sekali korban yang berjatuhan untuk mendaki dinding licin bursa saham ini. Bahkan tak jarang mereka yang sudah sampai di puncak gunung pun harus merasakan perih ketika dinding tersebut longsor. Satu-satunya yang pasti di pasar modal itu adalah ketidakpastian itu sendiri.
Tak bosan-bosannya saya mengingatkan buat para investor dan calon investor untuk selalu berhati-hati. Dunia saham ini memang terlihat menggiurkan. Banyak uang berkumpul di sini. Banyak sekali. Tak terhitung jumlahnya, seperti tumpukan-tumpukan emas yang menggunung hingga menyamai puncak Himalaya. Menggiurkan dan sangat menggoda, namun untuk mendapatkannya, butuh usaha yang tidak sedikit dan tak mudah. Ada banyak detil yang tersimpan. Ada banyak rahasia yang tak terbongkar. Semua itu melebur bersama-sama dengan hiruk pikuk ribuan informasi yang bersileweran di buku-buku, surat kabar, dan sebagainya. Nantinya kamu akan berpikir bahwa kamu sulit mencari 'resep rahasia' itu karena tersembunyi sedemikian rapinya, padahal kamu, saya, dan yang lainnya sudah (atau setidaknya hampir) melihat 'resep rahasia' itu tanpa pernah tahu, pun tak pernah terfikirkan sedikitpun, bahwa itu adalah 'resep rahasia' yang kamu cari-cari. Fikirkanlah sesuatu yang mungkin banyak orang tak memikirkannya. Semoga bermanfaat!
Post a Comment