Mengenali jebakan-jebakan saham
Kamu harus tahu dan mengerti benar-benar apa alasanmu memilih sebuah saham, membelinya, menyimpannya, lalu menjualnya. Ketika pasar bergerak melawan posisimu, kemungkinannnya hanya ada salah satu di antara 2 berikut ini yaitu pasar yang benar dan kamu yang salah; atau pasar yang salah dan kamu yang benar. Salah satu pasti akan dan selalu terjadi. Problem di dunia saham ini hanya ada 2 yaitu terlalu cepat dan terlalu lambat. Terlalu cepat membeli, harga malah turun. Terlalu cepat menjual, harga malah naik. Terlalu lambat membeli, harga malah keburu naik terus. Terlalu lama menjual, harga keburu turun terus.Fluktuasi harian yang memusingkan kepala membuat pelaku pasar membentuk 2 kutub alami yaitu fundamentalis dan teknikalis. Fundamentalis berusaha mengabaikan fluktuasi harian dengan cara memegang saham lebih lama. Dan cara yang paling tepat untuk bisa memegang saham lebih lama adalah lewat analisa fundamental. Teknikalis punya cara pandang yang berbeda pula. Menurutnya semakin lama trader berada di dalam pasar, maka akan semakin beresiko karena pembalikan arah bisa terjadi kapan saja. Maka ia 'dipaksa' untuk memanfaatkan segala momentum yang ada, segala fluktuasi yang terjadi, untuk bisa menghasilkan profit, tak peduli sekecil apapun itu. Fluktuasi harian itu seperti remah-remah roti yang jatuh ke lantai. Jika beruntung, tak cuma remahnya yang didapat, rotinya pun bisa ikut dibawa pulang. Fluktuasi itu memang yang diincar oleh teknikalis, biasanya mulai dari harian s/d mingguan. Jika ada teknikalis yang memegang saham sampai bulanan, biasanya itu merupakan akumulasi dari analisa minggu ke minggu (continuation) atau mungkin ia seorang semi-fundamentalist, yang mengkombinasikan antara analisa teknikal dengan fundamental.
Jebakan fundamental
Sebenarnya analisa fundamental ini sederhana, tapi bukan berarti mudah. Dikatakan sederhana karena apapun ceritanya, segala metode analisa fundamental selalu diarahkan untuk memprediksi laba masa depan (future earning). Dengan menghitung laba masa depan ini diharapkan investor mengetahui berapa harga yang pantas untuk saham itu nanti dan berapa harga yang pantas untuk saham itu sekarang, dengan memperhitungkan berapa return yang diharapkan dari investasi tersebut. Jadi jangan heran kalau memang fundamental ini sarat dengan hitungan valuasi. Maka bermunculanlah beragam metode menghitung valuasi saham. Nah di situlah muncul banyak jebakannya dan benar-benarlah banyak orang yang terjebak, termasuk saya dulunya.Seperti yang saya tuliskan di atas, analisa fundamental ini sebenarnya sederhana, tapi bukan berarti mudah. Silahkan kamu baca buku atau blog, pastinya kamu akan melihat bahwa rata-rata penulis menghitung valuasi saham dengan gampangnya. Mereka beralasan bahwa metode tersebut sudah digunakan oleh investor terkenal seperti WB. Buat orang-orang seperti itu, kudu harus direkomendasikan untuk membaca artikel ini. Saya kutip kembali apa yang saya tuliskan di artikel bagian 1 yang lalu :
Yang mana jebakannya itu? Bisakah saya beritahukan? Mungkin kamu bisa menemukan salah satunya di artikel ini (Baca di Ragam Valuasi Di Saham). Untuk jebakan yang lain, kamu kudu harus menemukannya sendiri. Tak semudah itu menghitung laba masa depan. Banyak tetek bengek yang harus diperhatikan sebelum menghitung itu semua. Contoh : jika perusahaan A mencetak laba Rp50 M di tahun 2005, lalu mencetak Rp93 M di tahun 2014, maka di atas kertas perusahaan tersebut mencetak pertumbuhan laba rata-rata 7,14% per tahun. Tapi mungkin kamu ingin melihat lebih dekat bagaimana sebenarnya historis pertumbuhan laba perusahaan ini dari tahun ke tahun."Saya selalu tertarik dengan sumber inspirasi dan pola pikir orang-orang sukses, bukan sekedar menelan bulat-bulat segala cara yang digunakannya, karena saya yakin mereka tak akan pernah membagi rahasia sukses itu secara CUMA-CUMA. Tapi dengan memahami sumber inspirasi dan pola pikirnya, perlahan tapi pasti kita mungkin akan bisa mengetahui rahasia itu cepat atau lambat. "
Tahun | Laba (dalam milyar) | Pertumbuhan |
2005 | 50 | |
2006 | 65 | 30% |
2007 | 60 | -7.69% |
2008 | 55 | -8.33% |
2009 | 75 | 36.4% |
2010 | 151 | 101.3% |
2011 | 132 | -12.6% |
2012 | 128 | -3.0% |
2013 | 110 | -14.1% |
2014 | 93 | -15.50% |
Hasil perhitungan CAGR-nya adalah 7,14%. Nah sekarang dengan asumsi pertumbuhan laba per tahun 7,14%, apakah kamu berminat investasi di perusahaan ini? Hmm.. tunggu dulu. Semenjak tahun 2011 s/d 2014 terjadi penurunan performa perusahaan. Tapi penurunan ini terabaikan karena keburu diiming-imingi dengan istilah 'pertumbuhan per tahun' yang merupakan hasil dari kalkulasi nilai awal ke nilai akhir dalam 10 tahun terakhir (gampangnya dengan menggunakan kalkulator CAGR). Dalam 3 tahun terakhir pertumbuhan labanya justru -3,84%. Dan nilai ini merupakan case-sensitive. Kalau kamu pernah menggunakan tehnik ini dalam menghitung valuasi saham, kamu pasti paham bahwa nilai CAGR ini merupakan case-sensitive, dimana perbedaan nilai sekecil apapun bisa memberikan perbedaan hasil perhitungan yang sangat signifikan. Bayangkan jika di satu perhitungan kamu menggunakan nilai 7,14%, sedangkan di perhitungan lain kamu menggunakan -3,84%, hasilnya persis siang dan malam. Padahal sekalipun perbedaannya terpaut sedikit (katakanlah 7,14% dengan 6,5%), maka perbedaannya pun juga cukup besar, apalagi dengan yang minus. Dengan pertimbangan ini kita bisa simpulkan bahwa CAGR lebih cocok digunakan pada perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang stabil, bukan volatil. Mudah-mudahan kamu cukup beruntung menemukan perusahaan yang demikian, terlepas dari gangguan makro seperti inflasi dan suku bunga.
Selain itu kamu kudu harus hati-hati menggunakan rasio seperti ROE, DER, dan sebagainya dimana rasio-rasio seperti ini sangat mudah dimanipulasi. Misalnya, suatu perusahaan yang rugi atau laba usahanya negatif, mungkin menunjukkan ROE yang bagus, karena ada laba selisih kurs, penjualan aktiva tetap dan lainnya. Bisa juga ROE menjadi bagus karena mendapat pinjaman bunga bersubsidi. Sedangkan DER pun tak kalah seru dalam hal menjebak. Saat krisis moneter bisa terjadi DER menjadi jelek (turun karena jumlah hutang membengkak, sedangkan ekuitasnya mengecil, bahkan negatif, akibat rugi kurs), namun kemampuan untuk melunasi kewajiban justru membaik karena penjualan ekspor dalam dollar, sedangkan beban biaya dalam rupiah.
Ketika inflasi sangat tinggi (di atas 30%), laba masa depan menjadi sulit diprediksi karena laba yang dihasilkan tidak mencerminkan kemampulabaan perusahaan yang sebenarnya, akibat tertekan oleh pengaruh yang lebih kuat. Tapi yang saya baca dari buku atau blog justru menyarankan untuk mencari mana-mana perusahaan yang bertahan di saat krisis (baca : tetap mencetak laba), yang biasanya mengarah ke perusahaan-perusahaan matur. Ya sarannya memang tidak salah, tapi tidak sepenuhnya tepat. Untuk bisa menilai kemampulabaan perusahaan yang sebenarnya, kita harus berdiri pada satu titik yang sama, titik yang menjadi tolok ukur dimana semua bisa dihitung dengan benar. Ingatlah, yang dinilai itu bukan semata-mata tahan atau tidak tahan menghadapi krisis, melainkan potensi tersembunyi dan itu tak akan kelihatan di saat inflasi sangat tinggi. Ketika kita melihat PHK besar-besaran dari sebuah perusahaan, kita akan menilai bahwa perusahaan tersebut sudah tak tahan menghadapi krisis, padahal perampingan tersebut bisa jadi langkah perusahaan untuk menyelamatkan kasnya, yang nantinya bisa digunakan untuk membangun kembali bisnis yang sempat kacau akibat krisis. Yang saya tuliskan ini hanya sebatas contoh. Masih banyak sekali hal-hal yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya. Fikirkanlah dan jujurlah. Cari solusi dan kerjakan. You won't be stupid to make this simple.
(Bersambung)
Post a Comment