Aswath Damodaran, yang dikenal sebagai Bapak Valuasi, menjelaskan setidaknya ada 3 fakta yang menjelaskan kenapa hitungan harga wajar bisa meleset. Dalam presentasinya, ia lebih dulu memaparkan seputar mitos yang didasarkan pada keyakinan-keyakinan fundamentalist selama ini dalam melakukan penilaian.
Mitos pertama : Valuasi adalah pencarian objectif terhadap nilai yang 'sebenarnya'.
Fakta menurut Damodaran :
- Semua hitungan valuasi itu bias. (Tanda kutip pada kata 'sebenarnya' di atas menandakan bahwa nilai yang sebenarnya itu bisa diatur sesuai pesanan.) Pertanyaannya seberapa besar biasnya dan pada arah mana (bias ke atas atau bias ke bawah)
- Arah dari gelombang bias dalam sebuah valuasi berbanding lurus dengan siapa yang membayar valuator tersebut dan seberapa besar valuator itu dibayar.
Saya tidak berharap Damodaran membahas hal ini dengan mengedepankan Teori Konspirasi. Namun saya bisa menilai bahwa Damodaran sedang menyindir para lembaga-lembaga pemeringkat yang sehari-hari bergelut pada valuasi saham, valuasi perusahaan, valuasi obligasi, dan sebagainya, dimana hasil perhitungan mereka meleset, entah disengaja atau tidak, dan dalam banyak hal banyak pemain-pemain besar yang mengeruk keuntungan dengan cara menempatkan posisi yang berlawanan dari pasar. Walaupun begitu, saya tetap mempertanyakan, apakah iya nilai perusahaan yang sebenarnya itu bias dan hanya pesanan belaka? Apa tidak ada cara untuk mengetahui berapa nilai perusahaan tersebut yang sebenarnya? Jawabannya nanti ada di mitos kedua.
Kemudian ada satu hal yang menarik di sini. Damodaran mengatakan,
"Pertanyaannya seberapa besar biasnya dan pada arah mana (bias ke atas atau bias ke bawah)."Artinya, sering sekali analis menghitung harga wajar akan turun, padahal yang sebenarnya akan naik; dan sebaliknya. Ini menuntut kita untuk bersikap lebih kritis agar tidak menelan mentah-mentah hasil hitungan valuasi orang lain.
Mitos kedua : Valuasi yang bagus memberikan perkiraan valuasi yang benar-benar akurat.
Fakta menurut Damodaran :
- Tidak ada valuasi yang akurat, apalagi yang benar-benar akurat.
- Semakin jelek akurasi hitungannya, semakin besar bayaran untuk valuasi tersebut.
Nah, ini terdengar benar-benar baru buat saya, tapi tidak lagi mengagetkan. Tampaknya memang di luar sana ada pihak-pihak yang senang sekali membayar analis untuk mempublikasikan hasil perhitungan yang meleset. Semakin meleset, semakin mahal bayarannya. Tapi tentu saja tidak selalu analisanya dibuat meleset, karena ada kalanya analisa tepat, sehingga siapapun yang membaca hasil analisa tersebut, yang biasanya disajikan dengan uraian data statistik dan metode perhitungan yang meyakinkan, akan sulit membedakan apakah hasil perhitungan tersebut jujur atau bohong.
Tapi lagi-lagi ini teori konspirasi. Padahal masih ada satu kemungkinan lagi, yaitu bahwa analis tersebut memang tidak tahu cara menghitung valuasi yang benar, sehingga hasil analisanya terkadang tepat dan terkadang tidak. Logikanya jika memang ia benar-benar tahu cara yang benar-benar akurat menghitung harga wajar saham, maka dia tidak akan betah duduk dan bekerja sebagai analis bayaran, karena yang seharusnya dilakukannya adalah membenamkan semua asetnya ke saham dan membiarkannya tumbuh sesuai dengan perhitungannya tersebut. Kalau ini tidak dilakukannya, maka kemungkinan memang dia tidak tahu cara menghitung valuasi yang benar. (Baca juga : 10 Hal Kecil Yang Membuat Perbedaan Besar Di Analisa Saham.)
Mitos ketiga : Semakin banyak model valuasi yang digunakan, maka semakin bagus valuasinya.
Fakta menurut Damodaran :
- Satu pemahaman tentang model valuasi adalah proporsi terbalik terhadap jumlah input yang dibutuhkan oleh model tersebut. (Artinya, semakin banyak inputnya, maka semakin sederhana model valuasinya nanti).
- Model valuasi yang lebih sederhana akan jauh lebih baik ketimbang yang kompleks.
Saya mengamini soal ini, kendatipun saya bukanlah seorang pakar dalam bidang valuasi, malah justru masih harus banyak belajar lagi. Saya termasuk orang yang pernah terjebak dengan rumitnya metode hitungan valuasi, tapi seiring waktu pelan-pelan bisa juga menghitung valuasi saham hasil oprak-oprek dari macam-macam buku. Walaupun bukan 100% benar, tapi cukup membantu buat mengambil keputusan dan tidak ragu-ragu. Aswath Damodaran dengan cerdik mengatakan bahwa satu pemahaman tentang model valuasi adalah proporsi terbalik terhadap jumlah input yang dibutuhkan oleh model tersebut. Maka yang semestinya dilakukan oleh para valuator adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya jumlah data, menyatukannya, tanpa harus terlalu banyak menginputnya, sehingga model analisa akan menjadi lebih sederhana dan praktis. Tapi yang biasa terjadi bukan seperti itu, melainkan mengumpulkan beragam metode valuasi dengan menggunakan jumlah data yang sama. Ini kebablasan namanya. Jadi alih-alih mendapatkan hasil yang akurat, valuator justru sibuk dengan studi komparatif antara satu metode dengan metode lain.
Hitungan harga wajar meleset?? Oh jangan khawatir. Kamu bukan satu-satunya yang mengalami itu. Terus gali dan tetap semangat!!!
Referensi :
http://www.securedocs.com/blog/2012/04/aswath-damodaran-3-valuation-misconception
Post a Comment