Bayang-bayang dollar memang kerap menghantui pelaku pasar sejak dulu. Krisis finansial yang sudah beberapa kali menghantam bursa kita selalu dibarengi dengan penguatan dollar secara signifikan. Tapi ada kalanya IHSG bisa melawan penguatan dollar tersebut.
Saya ambil contoh sekitar akhir bulan Agustus s/d awal September 2015 lalu dimana banyak muncul 'keanehan' di pasar saham. 'Keanehan' itu lazim disebut sebagai anomali. Saat itu rupiah bergerak terus melemah, namun pelemahannya tidak lagi diikuti oleh IHSG, karena IHSG justru bergerak naik melawan arah. Saham-saham berlompatan kegirangan seperti anak-anak kecil bermain hujan. Para trader yang masih asik wait and see -karena melulu memonitor penguatan dollar- hanya bisa memendam rasa dongkol karena kehilangan kesempatan memborong saham di harga rendah. Lalu dengan cepat mencari tahu apa penyebab rebound tersebut. Diketahuilah bahwa ada isu buyback tanpa RUPS yang digelontorkan OJK atas himbauan dari Menteri BUMN kepada emiten sebagai aksi buat menyelamatkan kejatuhan harga saham.
Selanjutnya, IHSG mencapai titik terendahnya di 4033 pada 29 September 2015 dan tak pernah lagi kembali ke titik tersebut karena IHSG bergerak naik terus hingga ini hari, padahal dollar masih berkutat di atas Rp14ribu. Jika pelaku pasar berharap dollar di bawah Rp10ribu sebagai sinyal masuk ke pasar saham, maka hampir dipastikan dia akan melongo saja tak punya barang hingga tahun 2019 ini.
Kenapa anomali ini bisa terjadi? Karena ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui saat dollar menjadi lawan.
Apakah pergerakan IHSG itu HARUS sejalan dengan pergerakan dollar?
Jawabannya, jelas TIDAK HARUS. Nilai tukar dollar memang mempengaruhi IHSG, tapi itu bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi. Sebab musababnya, sebagai negara yang masih membutuhkan impor berbasis dollar, maka penguatan dollar akan jelas membuat biaya import naik, selanjutnya harga jual naik yang pada gilirannya bisa memicu inflasi. Ancaman inflasi menjadi momok yang mengerikan kalau tak cepat ditangani. Di sinilah dibutuhkan peran serta pemerintah. Suku bunga biasanya akan dinaikkan untuk mengimbangi tingkat inflasi. Kemudian cadangan devisa dalam dollar akan dilepas ke pasar dengan tujuan menambah supplai dollar sehingga penguatannya terbatas. Jika ini berhasil dilakukan, maka harga saham tak jatuh terlalu dalam. Karena itu, cek selalu kondisi makro saat dollar sudah menjadi lawan untuk mendapatkan prediksi yang lebih mantap.
Apakah karena banyak investor asing di BEI, lantas dollar menjadi momok yang harus diperhitungkan?
Iya, bisa jadi. Duit asing di pasar modal biasa disebut sebagai hot money. Ia tak hanya ada di saham, tapi juga di obligasi. Per tahun 2019, nilai hot money ini mencapai Rp1,8 T. (Sumber : Kontan) Bukan jumlah yang sedikit, bukan? Jumlah investor asing masih saja mendominasi pasar modal kita, yaitu sekitar 52%. Kalau modal asing tersebut keluar, maka IHSG pun akan jeblok. Sebaiknya memang dibikinkan regulasi yang mengatur soal hot money ini agar jangan semena-mena. Bukan apa-apa, ada banyak predator yang memanfaatkan aksi tersebut untuk melakukan short selling. Mohon buat regulator bursa, jangan memberikan ruang terlalu mudah buat para short-seller.
Apakah memang terjadi anomali? Atau lebih tepatnya apakah ada yang disebut anomali itu?
Analis menggunakan istilah anomali buat menggambarkan korelasi tak searah (menyimpang) antara IHSG dengan indeks lain (biasanya dollar yang diyakini punya korelasi tinggi terhadap IHSG). Kata anomali sendiri mengandung makna 'penyimpangan', 'ketidaknormalan', 'ketidakbiasaan', 'ketidaklaziman', 'keanehan'.
Ya memang ada yang disebut anomali, tapi saya tidak nyaman menggunakan istilah anomali buat menggambarkan perbedaan arah IHSG dengan dollar. Seolah-olah terkesan IHSG itu HARUS searah dengan dollar agar tidak disebut anomali. (Catatan : Perhatikanlah selalu, betapa psikologis trader sedari awal sudah dicekcoki dengan pemilihan kata-kata yang kurang logis. Contoh : koreksi, anomali, overbought, oversold, dan sebagainya.)
Yang sebenarnya IHSG dan dollar punya arah pergerakan sendiri-sendiri. Hanya saja kita terlalu rajin menganalisis korelasinya dari hari ke hari lewat grafik tanpa mempertimbangkan bahwa ada banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi gerakan IHSG. (Baca juga : Jebakan Korelasi, Memutus Mata Rantai Setan)
Saya sendiri menggunakan istilah anomali buat menggambarkan penyimpangan pergerakan IHSG dengan harga SUN (cek di IHSG Review). Logikanya, kita sudah tahu hot money banyak di saham dan obligasi. Jika harga SUN naik (petanda obligasi diborong asing), maka logikanya IHSG pun akan naik (petanda saham diborong asing). Korelasi semacam ini lebih masuk akal menurut saya. Namun, ada kalanya kenaikan harga SUN tidak dibarengi dengan IHSG, pun sebaliknya. Di situlah saya biasa menyebutnya anomali. Kalau ditanya, apakah IHSG harus naik kalau harga SUN naik? Ya memang tidak harus, tapi kalau asing sudah memborong SUN, kenapa pula asing masih belum memborong saham? Logis, bukan?
Apakah rebound dipicu oleh aksi buyback emiten? Ataukah karena memang sudah saatnya rebound dengan / tanpa aksi buyback?
Rebound itu menyangkut momentum (timing), sedangkan adanya buyback membuat kualitas rebound menjadi luar biasa. Dengan kata lain, buyback oleh emiten memang tidak menjamin harga akan segera rebound. Namun, setidaknya itu bisa menjadi petanda bahwa penurunan kemungkinan akan terbatas. Supplai yang terserap otomatis akan menaikkan demand, yang dengan sendirinya akan mendorong munculnya rebound cepat atau lambat.
Saat dollar menjadi lawan, kamu mestinya jangan terlalu cepat merasa takut dan pesimis. Masih banyak hal lain yang patut dipertimbangkan. Coba cek makro ekonomi negara kita. Selain itu, jangan lupakan analisis fundamental. Sudah bukan rahasia lagi, pasar bisa mengobral harga saham semurah-murahnya hanya demi mengantisipasi krisis, padahal fundamentalnya tak banyak terpengaruh. Jika kamu cukup jeli menemukan saham seperti itu, maka peluangmu buat mengail profit besar terbuka lebar.
Semoga bermanfaat.
Post a Comment