Kalau kedua grafik sebelumnya digabung menjadi satu, maka hasilnya kira-kira akan menjadi seperti gambar di atas.
Tahun 2015 merupakan tahun dimana pasar sangat sulit diprediksi. Berdasarkan diagram siklus ekonomi, saat harga komoditas rata-rata sudah cukup rendah, maka diasumsikan siklus ekonomi sedang berada di tahap Kontraksi Awal (Early Contraction). Tapi cobalah perhatikan IHSG pada rentang waktu Oktober 2014 s/d April 2015. Kita bisa melihat IHSG sedang giat-giatnya menanjak di saat harga komoditas sedang anjlok. Lantas, bagaimana caranya kita bisa memahami bahwa itu di fase Kontraksi Awal? Sulit, karena secara logika Kontraksi Awal itu merupakan pergerakan turun sebelum rebound kuat. Lha, saat itu IHSG sedang bull rally kok, sehingga fase Kontraksi Awal kurang tepat buat kondisi saat itu. Itulah sebabnya jadi sangat sulit diprediksi. Lagipula tampaknya Middle Expansion lebih cocok disematkan karena saat itu untuk mencapai pertumbuhan laba yang tinggi itu sudah sangat sulit. Harga saham cenderung kemahalan. Ini hanya menarik buat ditradingkan, tapi tak begitu menarik buat diinvestasikan.
Saya merupakan salah satu yang keliru memprediksi IHSG, tapi bukan karena overpesimis, melainkan karena overoptimis. Saya kira IHSG bisa mencapai 6000-an di tahun 2015 silam. Akibat kekeliruan tersebut, saya harus banyak memperbaiki cara pendekatan analisis saya terhadap IHSG. Apakah 2015 itu kemenangan buat kaum pesimis? Tidak juga, karena rata-rata mereka memprediksi IHSG kelewat rendah, bisa menyentuh 3700, 3500, 3200, dan seterusnya. Tapi ternyata IHSG tak pernah turun lebih rendah dari 4000. Buat pencinta analisa teknikal tentunya tahu betapa prediksi level-level ini sangat penting dalam mengambil keputusan. Saat IHSG di level 4033 dan saham-saham sudah dibanderol dengan harga begitu murah, kaum pesimis ini tak bergeming dan tetap ngotot menawar IHSG turun lebih rendah lagi. Saya sendiri menghitung target support bottom IHSG saat itu sekitar 4138-4181. (Baca di IHSG Review 26-09-2015.)
Dengan memahami ini, kita akan menyadari bahwa koreksi yang terjadi di bursa saham bukan salah siapa-siapa, melainkan karena pergerakan alami pasar yang mengharuskannya ada pertumbuhan dan ada resesi. Siapapun presidennya tak akan berdaya jika berhadapan dengan siklus ini karena krisis bersifat global. Jangan coba-coba menahan pergerakan dollar. Keputusan BI untuk mengintervensi rupiah sekedarnya saja bertujuan untuk mencegah pada fluktuasi yang terlalu liar, jadi bukan hendak memperkuat, karena berapapun BI mengintervensi tak menjamin rupiah menguat seketika. Pasarlah yang akan menentukannya nanti. Contoh : Tahun 2000, krisis Bubble Dotcom; 2008 krisis Subprime Mortgage; 2013 krisis Eropa. (Baca juga : Top 8 Crash Di Bursa Saham.) Hanya orang bodoh yang menyalahkan Jokowi akibat IHSG jeblok dan rupiah melorot, padahal kondisi global memang sudah melemah sejak tahun 2011 silam. Ini hanya puncak gunung es yang kebetulan terjadi di era Jokowi. Yang terpenting itu bukan soal krisisnya, melainkan antisipasinya. Jika krisis tak bisa diantisipasi, maka akan berlanjut ke resesi. Di sinilah peranan pemerintah yang sesungguhnya. Tak cukup pemerintah sendirian, namun harus pula didukung dengan kebijakan global. Investasi dalam negeri tidak akan berjalan dengan baik, kecuali pemerintah memberikan dukungan penuh pada kegiatan ini. Dukungan itu seperti penyederhanaan izin, kemudahaan memilih sektor yang disukai, persyaratan yang jelas dan tidak bertele-tele. Selanjutnya investorlah yang akan menilai kapan momentum yang tepat untuk masuk.
Lantas, kalau memang bukan resesi, kira-kira bagaimana prediksi perekonomian ke depannya? Lain waktu akan saya tuliskan. (Update : Lanjutan bisa dibaca di sini.)
Post a Comment