Sekitar bulan Oktober 2015 lalu, para pelaku pasar banyak yang merasa sangat pesimis akan masa depan pasar saham. IHSG sudah terkoreksi -27% sejak April 2015. Tak ayal banyak hujatan dan makian diarahkan pada pemerintahan yang baru, Jokowi-JK, yang dianggap gagal dalam menjaga situasi ekonomi yang kondusif, bahkan kekisruhan politik dianggap sebagai biang kerok terpuruknya IHSG. (Baca juga : Politikus yang bermain saham). Dollar sudah menyentuh Rp14700, dan sekonyong-konyong bermunculan prediksi bahwa dollar akan menembus Rp15000, bahkan mungkin ke Rp25000. Model prediksi dadakan seperti ini sudah seperti ritual rutin pelaku pasar. Jika mayoritas pesimis, maka IHSG akan ditawar ke harga yang lebih rendah, sambil memprediksi dollar, plus menyalahkan pemerintah. Kenapa menyalahkan pemerintah? Sederhana saja, supaya dianggap cerdas. Jika mayoritas optimis, maka IHSG akan ditawar ke harga yang lebih tinggi.
Mari kita luruskan apa tujuan awal kita menganalisa IHSG, kurs dollar-rupiah, kondisi politik dan ekonomi, dan sebagainya. Kalaulah itu ditujukan untuk memprediksi arah pasar, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data. Contoh sederhana, ketika dollar menyentuh Rp14700,-, apakah itu kesalahan Pemerintah? Karena jika kamu benar-benar teliti mencari data, maka kamu akan segera mengetahui bahwa Euro, Yen, Ringgit, Baht, Peso juga mengalami hal yang sama persis dengan Rupiah. Euro, Yen, dan Ringgit bahkan melemah lebih parah ketimbang Rupiah. Kalau dipaksakan bahwa pelemahan Rupiah ini disebabkan kesalahan Jokowi, maka kemungkinan besar prediksimu pada arah pasar saham selanjutnya akan gagal total. Kenapa saya begitu yakin? Karena buat mereka yang tak jeli dalam mengelola informasi, maka prediksinya akan ngawur. Jadi tidak usah repot menyalahkan orang lain atas kerugian yang kamu peroleh. (Baca juga : Delusi Saham, Jika Pengalaman Malah Menjadi Ampas.) Salah satu problem terbesar di pasar modal adalah sulitnya mengelola begitu banyak informasi, sehingga tak tahu mana info yang bisa dipercaya dan mana yang tidak. Kecerdasanmu benar-benar ditantang di sini. (Baca juga : Bagaimana Cara Menganalisa Sebuah Berita?)
Ramai yang memprediksi IHSG akan terjun bebas ke level 3700 - 3500 - 3200, sehingga mengulang masa-masa suram seperti tahun 2008 silam, tanpa pernah tahu apa yang menjadi landasan prediksinya tersebut. Hanya semata-mata menilainya dari grafik. Saya sarankan jangan lakukan prediksi lewat grafik sebelum kamu tahu benar apa duduk masalahnya. Apa yang menjadi pemicu krisis tahun 2008? Apakah problemnya sama dengan tahun 2015 lalu? Kalau ternyata jawabannya "tidak sama", maka tak ada jalan buat menyamaratakan arah pasar seperti tahun 2008. Saya menyaksikan ada banyak sekali omong kosong analis dan trader yang menulis pelbagai analisa abal-abal.
Kalau kamu menyimak serial Dollar Puzzle yang saya postingkan beberapa bulan lalu, kamu mungkin akan mendapatkan gambaran apa yang tengah terjadi di pasar dan krisis seperti apa yang mungkin mengancam. Maka saya sependapat dengan George Soros bahwa kita mengkhawatirkan kejadian seperti tahun 1998, bukan 2008, akan berulang kembali. Tapi saya tidak sependapat dengan prediksi Soros yang mengatakan bahwa tahun-tahun mendatang merupakan tahun-tahun resesi global. Alih-alih resesi, saya justru melihat sebaliknya karena beragam antisipasi sudah dijalankan rupanya, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di global.
Pelaku pasar harus kudu tahu apa yang dimaksud dengan siklus ekonomi yang merupakan fluktuasi alami ekonomi antara periode pertumbuhan dengan resesi. Faktor-faktor utamanya seperti PDB, suku bunga, tingkat pengangguran, belanja konsumen, bisa digunakan untuk menentukan tahap siklus ekonomi yang tengah terjadi sekarang. Sektor-sektor bergerak tidak secara serempak, melainkan seperti bergiliran (berotasi) dengan ritme yang acak, sehingga akan membentuk siklus nantinya seperti gambar di atas.
(Bersambung)
Post a Comment