Jika mayoritas masyarakat Amerika menahan diri untuk berbelanja dan menyimpan dollar, maka supplai dollar di pasar akan menurun. Akibatnya dollar akan menguat. Jika mayoritas masyarakat Amerika mengurangi belanja apapun termasuk BBM, maka harga minyak akan terperosok. Dan inilah kartu Joker harga minyak itu, yaitu sesuatu yang disebut sebagai Consumer Spending. Jadi sehebat apapun kebijakan pemerintah Amerika, kalau ternyata tak mampu meningkatkan belanja rakyatnya, maka jangan harap harga minyak bisa naik. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Amerika berhasil menjadi sentral perdagangan dan kunci naik turunnya harga produk. Maka tiap kali dollar menguat dibarengi oleh turunnya harga minyak, maka itu sudah jelas indikasi jelek buat perekonomian Amerika. Tapi dalam satu sisi, kita tidak berbicara tentang kemungkinan akan ada krisis global ataupun resesi ekonomi jangka panjang. Saya akan menyisakan itu pada artikel lanjutan. Saat ini kita coba fokus pada supplai dollar di pasar.
Sebagaimana biasanya, The Fed bertanggung jawab pada jumlah supplai dollar. Diperkirakan ada sekitar $1.37 trilliun yang beredar di seluruh penjuru dunia. Dollar ini tidak hanya digunakan untuk kebutuhan transaksi masyarakat Amerika, tapi juga digunakan untuk transaksi komoditas di pasar internasional, untuk membayar hutang, tak hanya hutang negara lain, tapi juga hutang Amerika itu sendiri. Saya mengambil data neraca perdagangan Amerika dalam 10 tahun terakhir seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :
Terlihat neraca perdagangannya selalu defisit dan tak pernah surplus. Penyebabnya adalah jumlah import lebih besar ketimbang ekspor. Salah satu efek dari memiliki mata uang terkuat di dunia adalah daya beli masyarakatnya menjadi tinggi. Negara lebih suka mengimpor barang ketimbang memproduksinya sendiri karena harganya lebih murah. Pertanyaannya, jika neraca perdagangannya selalu minus, lantas bagaimana cara pemerintah membiayai program-programnya? Langkah pertama, dalam kondisi yang normal, tentu saja dengan berhutang. Langkah kedua, dalam kondisi khusus, mencetak uang. Jika uang yang beredar sudah terlalu banyak, maka The Fed akan menarik uang beredar dan menghancurkannya. Pertanyaannya sekarang, dengan kondisi sekarang, seberapa banyak pun The Fed mencetak uang, tidak akan menaikkan pertumbuhan ekonomi, malah justru bisa mencetuskan inflasi yang tidah sehat. Di sisi lain, US Treasury yang semestinya merupakan safe haven bagi para investor hanya menawarkan imbal hasil yang tak begitu menarik. Betapa tidak, untuk obligasi jangka waktu 30 tahun hanya mendapatkan imbal hasil 3% saja. Makin pendek jangka waktunya, makin kecil pula yieldnya, sehingga biasanya The Fed akan menaikkan rate untuk menarik minat investor memborong US Treasury tersebut. Tapi hal itu pun tak bisa dilakukannya dalam situasi seperti sekarang ini.
Zoltan Poszar merupakan seorang penasehat senior di Departemen Keuangan Amerika, dimana ia juga memberikan nasehat di Kantor Pengelolaan Hutang dan Kantor Penelitian Keuangan, juga menjabat sebagai penghubung obligasi ke FSB (Financial Stability Board). Ia juga bekerja untuk The Fed Board dalam meningkatkan arus modal ke akun Amerika. Zoltan sekarang ini bekerja buat Credit Suisse, tapi ia sebenarnya lebih dikenal karena meletakkan kembali peta topografi penuh dari sistem perbankan bayangan (shadow banking) Amerika di semua aliran asetnya di tahun 2009 silam. Yang artinya apakah The Fed bisa menaikkan rate atau tidak, itu bisa dinilai dari efek domino terhadap perbankan bayangan tersebut. Seberapa besar aset perbankan bayangan ini? Sangat besar. Per tahun 2013 jumlahnya sudah mencapai $75 trilliun di seluruh dunia, sekitar $25.2 trilliun di Amerika, lebih besar dari GDP Amerika sendiri. Tidak cuma itu, karena ratio leverage yang diizinkan adalah 28x, maka kita bisa asumsikan itulah nilai eksposurenya, sehingga ini menjadi pertaruhan yang mengerikan. Karena itu keberadaannya benar-benar harus mendapatkan perhatian The Fed kalau tidak mau ekonomi Amerika kolaps hanya karena salah mengambil keputusan. Zoltan menuliskan kenapa The Fed sangat takut untuk menaikkan rate walaupun dengan persentase yang sangat kecil sekalipun, katakanlah 0.25%. Karena The Fed harus ingat apa yang terjadi ketika LTCM (Long Term Capital Management) meletus dulu. (Baca di sini.)
Dan jika the Fed menaikkan rate, maka bukan hanya 1, tapi ada ribuan LTCM yang akan angkat kaki. Kamu tahu apa itu LTCM? It's the world's most levered trade! Di sini adalah tempat dimana para spekulan, big player, big investor, fund manager, menanamkan uangnya secara gila-gilaan dan berharap keuntungan yang berlipat-lipat dengan metode leverage. Keruntuhannya akan memberikan multiplier effect yang sangat besar di dunia usaha dan itu benar-benar menjadi pertaruhan yang mengerikan.
The Fed tampaknya tak punya pilihan lain selain mempertahankan rate tetap rendah dan mengarahkan inflasi di bawah 2%. Kenapa? Karena harus menyesuaikan dengan daya beli masyarakat. Lantas, kenapa The Fed masih mewacanakan akan menaikkan rate hingga akhir tahun 2015? Karena The Fed menginginkan inflasi lebih dari 2%. Menurutnya 2% itu masih terlalu rendah. Dengan menaikkan inflasi di atas 2%, maka diharapkan jumlah uang beredar meningkat dari pembelanjaan masyarakat. Consumer spending memang akan turun jika interest rate dinaikkan, tapi dengan naiknya corporate bond rate dan mortgage rate, maka otomatis memaksa perusahaan untuk menaikkan harga jual produk, yang pada gilirannya membuat konsumen harus merogoh kocek lebih untuk membeli produk tersebut. Selain itu kenaikan rate diharapkan bisa meningkatkan valuasi dollar. Sebagai perbandingannya dengan inflasi 2%, dollar kehilangan 1/2 valuasinya selama 36 tahun, tapi kalau inflasi 4%, maka hanya butuh waktu 18 tahun saja. Sayangnya menaikkan rate di saat pertumbuhan ekonomi yang melambat bukanlah ide yang bagus, terlalu beresiko dan terlalu spekulatif. Kenapa begitu? Karena sebenarnya The Fed tak bisa memaksakan diri untuk membuat inflasi. Jika faktor mahalnya harga bukan karena tingginya demand, melainkan suku bunga, maka yang terjadi nanti adalah masyarakat semakin memperketat ikat pinggangnya, berhemat semaksimal mungkin, memperkecil pengeluarannya, dan langkah-langkah lain yang harus dilakukan dalam rangka berhemat. Indikatornya sebenarnya sudah bisa dengan mudah dilihat. Jika dengan zero-rate pun pertumbuhan ekonomi masih 2-3%, apalagi kalau ratenya dinaikkan. Makin anjloklah pertumbuhan ekonomi itu.
Apa yang harus dilakukannya agar dollar tak lagi dalam kondisi tegangan tinggi seperti sekarang ini? Masih ada skenario yang masih bisa dijalankan, tapi sulit diketahui apakah itu langkah untuk mengantisipasi agar dollar tidak jatuh atau justru langkah untuk mengantisipasi dampak setelah dollar jatuh. Salah satu pasti akan terjadi. Tapi sebelumnya harus ada penjelasan apa kira-kira yang akan membuat dollar rontok nanti. Dan saya pun masih sibuk untuk menyusun puzzle yang memusingkan kepala ini.
(Bersambung)
Post a Comment