Logika di balik kedua alasan ini benar adanya. Penguatan mata uang umumnya merefleksikan fundamental negara asalnya. Maka tak heran jika ada yang bilang perekonomian Amerika membaik karena melihat dollar semakin menguat. Juga defisit neraca perdagangan RI pun terbukti menurun karena pelemahan rupiah dan mengalami surplus 6 bulan berturut-turut, padahal total ekspor tidak terlalu berbeda secara signifikan ketimbang impor. Namun, kenapa cuma alasan positif saja yang ada? Logika trader saya mengatakan bahwa jika yang beredar hanya isu-isu positif, maka hampir selalu berakhir negatif, walaupun sinyal negatif itu tak berarti harus disikapi negatif juga oleh pelaku pasar, karena pasar selalu bisa memanfaatkan momentum senegatif apapun itu. Ulasan ini mungkin akan berguna buat mereka yang hendak mengambil posisi jangka panjang nantinya.
Katakanlah saya terlalu nekad menuliskan sesuatu yang sebenarnya tak lebih dari sekedar menyusun dollar puzzle. Sebelumnya, saya pernah menuliskan bahwa saya akan mengulas soal dollar, tapi tak kunjung tuntas saya kerjakan karena ternyata ada banyak sekali hal-hal baru yang saya temukan. Belum lagi pendapat analis yang satu berbeda dengan analis lain. Tapi saya tak berkeberatan mengerjakan itu karena memang hobi. Membagi sesuatu, terlepas apakah kamu setuju atau tidak, merupakan tantangan tersendiri buat saya. Lagipula saya tak sedang memprediksi dollar. Saya hanya mencoba menyusun puzzle agar kita semua bisa sama-sama menebak bagaimana gambaran akhirnya nanti.
Apa iya penguatan dollar karena perekonomian Amerika membaik? Kalau memang perekonomian Amerika membaik, lantas kenapa harga minyak mentah turun? Tak cuma minyak mentah, harga emas pun turun. Tak tanggung-tangung dalam 1 tahun terakhir ini, harga emas sudah terperosok -15.9% dari $1300 per TO menjadi $1093 per TO. Harga minyak mentah lebih menyedihkan lagi. Dalam 1 tahun terakhir sudah terperosok lebih dari -50% dan sampai ini hari masih berada pada kisaran $40-60.
Apakah ini punya korelasi terhadap dollar? Ya tentu saja, tapi bagaimana korelasinya, itu yang akan coba diulas di sini.
Ketika dunia 'dikejutkan' oleh kabar bangkrutnya Yunani, maka sontak kita bisa menilai bahwa penguatan dollar yang digadang-gadangkan sebagai indikator membaiknya kondisi makro ekonomi global ternyata hanya pepesan kosong. Yunani merupakan salah satu negara yang mengalami kesulitan ekonomi akibat inflasi yang terus naik, dan itu juga dialami oleh negara-negara yang terkena imbas penguatan dollar. Kabar itu serta merta mengingatkan saya pada sebuat artikel yang pernah dimuat di zerohedge beberapa waktu lalu yang menuliskan bahwa tahap pertama adalah rontoknya Euro. Ini sedang dan masih berlangsung. Adalah lebih aman mengatakan bahwa negara-negara Eropa, Amerika, dan beberapa jurisdiksi lainnya mendekati keruntuhan mata uang, dan kemungkinan besarnya, euro akan jatuh lebih dulu ketimbang dollar. Maka, kecuali Eropa sudah mempersiapkan euro baru, dollar akan menjadi pilihan sebagai solusi masalah, karena dollar sudah dikenal luas dan ditransaksikan di Eropa.
Tahap kedua, rontoknya Dollar. Walaupun yang terdengar selama ini bahwa dollar dihargai sebagai sound currency (yaitu mata uang yang tidak naik turun dengan cepat alias relatif stabil), yang sebenarnya ia hanya benar-benar stabil terhadap euro (dan pada sedikit mata uang lainnya seperti yen). Jika salah satu saudaranya, euro, tidak stabil dan kolaps, maka dollar pun akan terkena imbasnya. Ini pastinya akan menyisakan pertanyaan, bagaimana mungkin dollar terkena imbas padahal jika Eropa bersedia menggunakan dollar secara luas, tentunya nilai dollar dengan sendirinya akan terangkat, kan? Logikanya memang seperti itu, tapi kita sedang berbicara tentang efek berantai jika itu benar-benar terjadi. Bagaimana efek berantainya? Cerita ini masih jauh dari kata selesai.
(Bersambung)
Post a Comment