Di artikel-artikel sebelumnya, saya menggunakan banyak asumsi untuk menghitung harga pokok penjualan (HPP) BBM. Saat itu saya cenderung menghindari menghitung HPP dengan menggunakan acuan ICP (Indonesia Crude Price, yaitu indeks harga minyak untuk Indonesia), karena saya pikir penentuan harga ICP pun sebenarnya masih bisa dimanipulasi pasar, terutama oleh trading oil company. Asumsi itu dibutuhkan karena tidak ada yang tahu pasti berapa besaran profit nyata yang dihasilkan dalam setiap liter minyak yang dijual tersebut. Juga masih mengabaikan biaya produksi dan transportasi. Ya tentu saja hasilnya akan bias, tapi fokus saya waktu itu adalah mendapatkan gambaran umum seputar berapa banyak yang bisa diraup oleh mafia migas dengan cara menghitung HPP dari BBM mentah dengan mengabaikan biaya produksi dan transportasi serta profit hanya $1.1 per barel, sehingga kita bisa mendapatkan gambaran minimal. Ya minimal. Nah, sekarang saya akan gunakan acuan ICP untuk menghitungnya agar kita bisa membandingkan antara keduanya.
Historis harga ICP bisa didownload langsung di sini. Seperti terlihat pada grafik di atas, harga ICP terus turun mulai dari awal tahun 2012 s/d sekarang. Pergerakan ICP ini mengikuti trend harga minyak dunia. Hari ini minyak mentah bertengger di level $53.73 per barel, sementara ICP bertengger di $75 per barel. Jadi memang karena terpengaruh oleh naik turunnya kurs USD, Indonesia tidak menggunakan acuan WTI dan Brent oil untuk menghitung HPP, melainkan ICP. Dengan menggunakan ICP ini kita dengan mudah menghitung HPP. Rumusnya :
ICP + Cost / 159 x kurs Rupiah - USD
159 merupakan nilai konversi barel ke liter (1 barel = 159 liter).
Dari googling, kita dapatkan data-data sbb :
ICP per bulan Desember 2014 diprediksi pada harga $75.
Kurs IDR-USD ideal di Rp12500.
Biaya produksi dan transportasi (Cost) diperkirakan 30%.
Maka HPP-nya adalah :
[$75 + (30% x $75) / 159] x Rp12.500 = Rp7665,-.
Saya menambahkan asumsi profit Rp500 / liter yang diperuntukkan untuk Pertamina, sehingga HPP-nya akan menjadi : Rp7665 + Rp500 = Rp8165,-.
Pertanyaannya, jika memang HPP-nya Rp8165 per liter, lantas kenapa Pemerintah malah menjual premium di harga Rp8500 dan mengaku masih subsidi Rp1500? Maka, jawabannya karena HPP-nya bukan di Rp8165, melainkan di Rp10.136. Jadi perbedaannya adalah pada input kurs IDR-USD, harga ICP dan penentuan besaran cost.
- ICP yang digunakan sebelum pengumuman kenaikan BBM 01 November 2014 lalu adalah ICP bulan Oktober 2014 yaitu $83,72.
- Kurs IDR-USD yang digunakan adalah Rp12.200. (Kurs USD di bulan Oktober 2014 berada pada rentang Rp11.993 - Rp12.241,-.)
- Biaya produksi sebesar 30% itu dihitung dengan asumsi bahwa seluruh proses produksi dan penyulingan dilakukan di Indonesia. Kenyataannya, Indonesia hanya memproduksi 800 ribu bph dimana 85%-nya bisa diolah menjadi BBM siap pakai (sekitar 680 bph). Kebutuhan BBM dalam negeri 1,5 juta bph. Kapasitas penyulingan dalam negeri sebesar 1 juta bph. Artinya, Indonesia akan import 200 ribu bph dalam bentuk minyak mentah, sehingga kapasitas penyulingan tepat 1 juta bph (800 ribu + 200 ribu), dan menghasilkan 850 ribu bph. Masih kurang 650 ribu bph dan itu akan diimpor dalam bentuk minyak jadi. Dengan demikian biaya produksi diperkirakan meningkat. Untuk premium RON 88 menjadi 50% dan untuk pertamax RON 92 menjadi 75%.
{[$83.72 + (50% x $83.72) / 159] x Rp12.200} + Rp500 = Rp10.136,-
Harga premium di pasar adalah Rp8500. Artinya Pemerintah masih mensubsidi sebesar Rp1636,- per liternya.
Apakah perhitungan ini cukup sampai di sini? Tidak. Karena mestinya BBM RON 88 tidak semahal itu.
(Bersambung)
Post a Comment