Sebelum adanya disiplin, lebih dulu harus ada aturannya. Itu dasar logikanya, karena tanpa ada aturan, maka disiplin itu sendiri tak bisa dilakukan. Kamu bisa membuat aturan tentang kapan harus cut loss, kapan harus take profit, kapan harus wait and see. Nah, aturan itu sendiri lahir daripada sebuah sistem. Sistem akan menandai apakah sebuah saham terindikasi naik atau turun. Jika sebuah saham terindikasi turun, maka jual. Sebaliknya, jika terindikasi naik, maka beli. Itulah aturannya.
Bagaimana jika kita membeli saham yang justru terindikasi turun? Maka lakukan cut loss. Sebaliknya, bagaimana jika kita menjual saham yang justru terindikasi naik? Maka lakukan buy back. (Baca juga : 7 Tanda Sistem Trading Yang Baik) Jadi saya menitikberatkan pada pentingnya memiliki sistem trading yang baik lebih dulu sebelum memutuskan disiplin terhadapnya. Tanpa sistem trading yang baik, maka hasilnya akan berkebalikan : saham yang dikira naik ternyata turun; dan saham yang dikira turun ternyata naik. Kenapa harus repot-repot melakukan disiplin pada sistem yang demikian buruk? Coret saja sistem seperti itu dan mulailah mencari sistem lain yang lebih baik.
Yang sering terjadi adalah seorang trader mencoba untuk disiplin, sedangkan ia tak punya sistem trading apapun. Ia hanya menebak dengan instingnya, tanpa ia tahu persis bagaimana posisi harga saham saat itu. Jika tebakannya tepat, dia akan mengail profit. Jika tebakannya salah, maka ia akan merugi. Tanpa aturan yang jelas, lantas bagaimana ia melakukan disiplin? Seperti halnya ia melakukan trading dengan instingnya, begitu juga ia melakukan disiplin, yaitu semata-mata berpedoman pada instingnya.
Cara seperti itu pernah saya jalani dulu, tapi saya tak pernah puas atas hasilnya. Lagipula, dalam kelanjutannya, tanpa sistem yang jelas, trading benar-benar beresiko dan penuh dengan keragu-raguan. Hati selalu dipenuhi dengan rasa was-was dan prasangka jelek. Bagaimanapun, insting tak bisa dijadikan pedoman utama dalam trading. Mau tidak mau, mesti ada sebuah sistem yang bisa dijadikan pegangan. Ada acuan, ada penilaian, dan ada pengambilan keputusan yang jelas dengan alasan yang benar-benar tepat dan bisa dipertanggungjawabkan. Jangan lagi main tebak-tebakan. Hal itu sangat melelahkan. (Baca juga : You Gamble. Market Didn't.) Tak ada pilihan lain. Kamu harus punya sebuah sistem trading. Itu bukan lagi hal yang bisa ditawar-tawar.
Sebagai contoh : seorang trader berasumsi bahwa ia bisa menggunakan sistem apa saja, asalkan ia tetap disiplin pada level stop loss. Pernyataan itu hendak menekankan bahwa aturan stop loss itu cenderung tak berubah, walaupun sistemnya berubah, tak peduli apakah sistemnya baik atau buruk. Benarkah begitu?
Maka, kita akan coba menelaah detil dari persoalan yang kelihatannya sepele ini. Silahkan simak. Lazimnya pilihan stop loss itu didasarkan pada 3 pilihan, yaitu :
- Saham turun melewati batas toleransi. Ada yang mengeset -2%, ada yang -5%, ada juga yang -10%
- Saham turun dan membentuk Lower Low (LL)
- Saham turun dan menyentuh triggger jual. Trigger ini bisa berupa moving average, garis trend, fractal, dan sebagainya.
3 cara ini memiliki banyak kekurangannya. Kita akan bahas satu persatu. (Baca juga : Kebingungan Stop Loss, Mengeset Titik Awal)
1. Saham turun melewati batas toleransi. Di sini trader mengesetnya dalam bentuk persentase. Cara ini mengandung bias yang sangat lebar. Sangat sulit untuk mencapai akurasi tinggi dengan cara ini.
Jika indikasi stop loss didasarkan pada persentase tertentu, maka sejujurnya ia bisa berada di level berapapun. Sudah bukan hal yang aneh lagi, ketika saham turun mencapai batas toleransi, kita justru masih ragu juga dan malah menaikkan batas toleransi lebih lebar lagi. Tak jarang setelah harga menyentuh batas toleransi, yang terjadi justru harga naik sekonyong-konyong. Silahkan utak-atik persentase stop loss itu, dan saya yakin kamu tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan.
2. Saham turun dan membentuk Lower Low (LL). Di sini batas toleransi didasarkan pada candlestick yang terbentuk, bukan persentase. Dulu saat sistem saya masih amburadul, bisa dibilang saya hampir selalu menggunakan cara ini. Logikanya sederhana. Tak ada saham yang turun tanpa membentuk LL.
Seiring waktu sistem saya semakin rapi, maka cara ini hanya sesekali saja saya gunakan sebagai jurus pamungkas. Cara ini memang tak selalu akurat, tapi sering berhasil menyelamatkan saya dari kerugian yang besar. Selesai masalah? Belum. Jika dalam 10x membeli saham, dan ke-10 nya itu membuat LL, maka itu jelas bukan prestasi yang menggembirakan. Bagaimana ceritanya kok bisa 10x trading tapi salah semua, padahal sudah belajar bertahun-tahun? Maka tak ada pilihan selain mencari sistem yang benar-benar baik.
3. Saham turun dan menyentuh triggger jual. Cara ini sering sekali menghasilkan noise, dimana harga menyilang terlalu sering pada area trigger tanpa ada kepastian apakah itu sinyal atau bukan. Misalnya, trigger beli di harga 386. Ternyata pada hari itu harga bergerak pada rentang 383-387. Setelah menyentuh 387, ia turun dan bergerak di rentang 384-385 hingga pasar tutup. Pertanyaannya, itu sinyal beli atau bukan? Saya tidak tahu.
Dengan kelemahan dari 3 cara stop loss tersebut, maka normalnya trader akan berinisiatif untuk menyusun sebuah sistem dimana aturan stop loss-nya tidak memiliki kelemahan seperti 3 cara di atas. Saya sendiri menggunakan metode target swing yang saya kembangkan sendiri dengan aturan stop loss yang berbeda sama sekali. Karena itu pernyataan "stop loss itu cenderung tak berubah, walaupun sistemnya berubah" itu kurang tepat. Dengan menyempurnakan sistem yang digunakan, maka diharapkan bisa menyempurnakan tehnik stop loss juga.
Secara sederhana dijelaskan sbb :
Susunlah sistem yang baik --> Pahami aturannya --> Disiplin pada aturan tersebut.
Semoga bermanfaat.
Post a Comment