Kemampuan memprediksi memang menjadi cita-cita para pelaku pasar. Beragam metode digunakan. Beragam pendekatan dilakukan. Sayangnya beberapa dari kita, tak terkecuali saya, alih-alih melakukan analisis prediksi, justru malah terjebak dalam analisis fiksi. Apa yang membedakan keduanya?
Analisis fiksi itu menganalisis hal-hal yang fiksi. Fiksi itu memang tidak dimaksudkan untuk berdasarkan fakta yang sebenarnya, karena awal mula fiksi itu sendiri adalah khayalan/imajinasi. Saya menemukan banyak sekali kasus-kasus analisis fiksi ini. Contoh :
- Andai Erdogan menjadi Presiden RI, pastilah Indonesia akan maju.
- Andai saja pemerintah mau mencetak uang rupiah lebih banyak, tentulah Indonesia lebih mudah membayar hutang.
- Andai pemerintah berani menghentikan hutang luar negeri, pastilah pembangunan di Indonesia akan semakin pesat.
- Dollar meroket petanda Indonesia diambang kehancuran seperti 1998.
- Dan sebagainya.
Sejatinya fiksi lebih cocok buat novel atau dongeng, lalu diangkat menjadi cerita di layar kaca. Jika ia dipaksakan untuk hal-hal ekonomi hingga politik, maka yang ada hanyalah logika-logika yang absurd. Itu sebabnya pada kasus di atas, jawabannya akan sangat mudah, yaitu :
- Erdogan itu bukan orang Indonesia. Yang bisa menjadi presiden RI itu wajib WNI. Erdogan menjadi presiden RI itu adalah fiksi. Menganalisanya itu disebut analisis fiksi.
- Mencetak rupiah lebih banyak akan berdampak pada kenaikan harga di pasar (inflasi). Pada gilirannya pemerintah harus membayar lebih banyak lagi untuk menjalankan roda pemerintahan. Mencetak uang buat bayar hutang itu fiksi. Menganalisisnya itu disebut analisis fiksi.
- Hutang adalah sebuah keniscayaan dalam pemerintahan negara manapun. Dalam hal berinvestasi, hutang itu adalah leverage yang tujuannya untuk menggenjot pembangunan. Menghilangkan hutang luar negeri demi mempercepat pembangunan itu adalah fiksi. Menganalisisnya itu disebut analisis fiksi.
- Dollar itu seperti minuman bersoda yang membuat perut kembung. Bukan dollar yang menghancurkan sebuah negara, melainkan karena inflasinya. Tapi, tidak ada negara yang benar-benar bangkrut karena inflasi, karena lazimnya negara-negara sahabat akan mengulurkan bantuan dan solusi. Maka, Indonesia hancur karena dollar meroket itu adalah fiksi. Menganalisisnya itu disebut analisis fiksi.
Dengan bahasa yang lebih mudah, analisis fiksi tak lain tak bukan menganalisis hal yang mengada-ada. Tahun 2015 saya pernah berselisih pendapat dengan seorang trader yang mengatakan Indonesia akan hancur, padahal kami sama-sama tahu bahwa trade balance perlahan mulai pulih. Dan pada akhir 2015, CAD (Current Account Defisit) Indonesia membaik dari -3,09% menjadi -2%, yang merupakan perbaikan defisit terbaik dan terbesar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Indonesia mau hancur darimananya? Kenapa di luar sana ada pelaku pasar yang mengetahui berbagai indikator makro tapi masih terjebak dalam hal-hal fiksi semacam itu?
Dalam periode 2014-2018 banyak sekali trader yang terjebak dalam analisis fiksi ini akibat menyandarkan penilaiannya semata-mata kepada isu yang berkembang di pasar dan terlalu malas mengecek laporan keuangan. Sebut saja dari sektor konstruksi. Pemerintahan Jokowi-JK dengan nyata menggenjot pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Pembangunan itu sendiri nyata, tapi secara langsung dimaknai bagus untuk meningkatkan laba perusahaan konstruksi, nah itu hal yang fiksi. Bagus tidaknya kinerja perusahaan tidak bisa dinilai dengan cara seperti itu. Ternyata harga saham-saham konstruksi ambruk. Kenapa bisa begitu?
Saya ambil contoh pada kasus WIKA (saya hanya menampilkan kinerja 2016-2017).
Dalam 2 tahun terakhir ini kinerja WIKA relatif stagnan. Current Asset on Sales-nya sangat tinggi menandakan bahwa WIKA benar-benar menggenjot penggunaan asetnya. Ibarat mesin, ia benar-benar sudah fullpower. Kondisi seperti ini biasanya kurang disukai investor, mengingat dana kas tidak akan cukup buat membiayainya, melainkan harus menambah hutang. Dan kondisi ini terjadi tidak hanya pada WIKA, tapi juga saham-saham konstruksi lain.
Seberapa besar laba yang dihasilkan dari penggunaan aset itu bisa kita lihat di Operating Profit to Asset. Hanya berkisar 8-10%. Ini merupakan tanda bahwa WIKA tak bisa serta merta memanen laba besar. Alasannya nilai proyeknya akan dilunasi pemerintah dengan cara menyicil, bukan kontan. Selain itu, nilai hutangnya membengkak. Untuk kuartal IV 2017, nilainya 14 tahun, yang artinya dengan laba yang sekarang ini, WIKA butuh 14 tahun buat melunasi hutangnya.
Kesimpulan yang bisa diambil saat ini adalah WIKA dalam kondisi hibernasi, bukan jelek. Buat investasi, WIKA masih belum menarik. (Perusahaan yang jelek biasanya penjualannya jeblok, profitnya jeblok, utangnya membengkak.) Perusahaan seperti ini layak dipantau karena kelak ia akan memanen buah dari kerja kerasnya.
Bandingkan dengan KAEF, misalnya. Lebih menarik, bukan?
Jadi yang kudu kita lakukan itu adalah analisis prediksi, bukan analisis fiksi. Prediksi dilakukan dengan mengedepankan data historis dan fakta yang berlaku di pasar. Bukanlah karena sesuatu itu belum terjadi, maka disebut fiksi, karena prediksi pun demikian. Bukanlah prediksi namanya kalau sudah terjadi. Baik fiksi maupun prediksi, sama-sama belum melihat hasilnya. Yang membedakannya adalah yang satu hanya berupa angan-angan, yang satu lagi akan menjadi kenyataan.
Jika kamu melihat fiksi akan menjadi kenyataan, maka itu bukan fiksi lagi namanya, melainkan prediksi. Fiksi itu sendiri tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi nyata, karena fokusnya hanyalah mengaktifkan imajinasi buat berkhayal lebih jauh. Soal apakah itu bisa diwujudkan menjadi nyata atau tidak, itu persoalan yang berbeda yang tak ada sangkut pautnya dengan fiksi tersebut.
Hal yang berbeda pada prediksi yang memang dimaksudkan untuk menjadi nyata. Ia bukan khayalan, melainkan proses yang sedang dan akan berjalan. Jika prediksinya keliru, itu artinya metode yang dipilih keliru. Jadi, hati-hatilah dalam memilih elemen analisis. Jangan sampai memasukkan elemen-elemen fiksi, sedangkan output yang diharapkan berupa prediksi.
Di luar sana ada trader-trader profesional yang sangat akurat dalam hal memprediksi waktu reversal harga. Sayangnya saya tidak tahu bagaimana cara mereka melakukannya. Fundamental juga tak kalah membuat kejutan, karena ada investor-investor profesional yang bisa memprediksi hasil laporan keuangan yang akan rilis dengan cara mengawinkan data-data mikro dengan makro. Jika hasil LK bisa diprediksi sedemikian rupa, maka terbuka peluang buat mengetahui valuasi saham tersebut jauh-jauh hari. Insider? Bukan insider, melainkan pure fundamentalist.
Analisis saham itu prediksi, bukan fiksi. Jalani dan nikmati. Salam trader Indonesia!
Post a Comment