Powered by Blogger.
===================================================================
Assalamualaikum Sobat Saham Ceria,
Salam sejahtera bagi kita semua,

Untuk meningkatkan kemampuan menulis sobat, silahkan tulis artikel mengenai pasar atau saham, cara kamu memahaminya, suka duka, awal mula, cita-cita, harapan, kesalahan hingga cara memperbaikinya, bedah buku / tulisan trader lain, mitos, dan sebagainya. Ada banyak sekali hal yang bisa kamu tuliskan.

Lebih disukai yang berisikan pengalaman ataupun paparan yang sarat dengan logika dan argumen yang kuat, sehingga sobat lain bisa belajar dari pengalamanmu itu.

Kirimkan tulisan kamu ke sahamceria1@gmail.com dengan format :

Nama penulis : boleh nama pena ataupun nama asli
Email :
Link Blog : (kalau ada)
Judul :
Uraian :
Referensi : (kalau ada)

Panjang tulisan antara 4000-5000 karakter. Tulisan yang menarik akan saya posting di blog ini. Dulu saya memulai untuk memahami pasar ini lewat menulis. Siapa tahu kamu pun juga begitu.

Semoga sukses dan salam trader!
===================================================================

Saham = Riba? Iming-Iming, Mengukir Nama Di Udara

Posted by Saham Ceria

Saham = Riba? Iming-Iming, Mengukir Nama Di Udara
Saya sering menelaaah kisah sukses dan gagal para investor saham dengan tujuan mengambil hikmah atas keberhasilan dan kegagalan tersebut. Itu penting buat menginspirasi saya dalam menyusun strategi di bursa saham. Karena sering kali kita tak bisa melihat kelemahan diri sendiri, tapi kita mungkin bisa mempelajarinya dari kelemahan orang lain. Namun ada 1-2 kisah yang selalu membuat saya tak tahan untuk tidak membahasnya, yaitu kisah-kisah gagal para investor lalu menyalahkan bisnis saham dengan menyinggung-nyinggung soal syar'i, seolah-olah ingin mengatakan bahwa ini adalah bisnis yang haram dan membawa petaka kepada siapapun yang terjun di dalamnya. Berikut ini salah satu cerita yang saya temukan. Tanggapan atas cerita ini akan saya tuliskan setelahnya.

Kutulis kisah ini untuk segenap muslimah. Meskipun dengan menulisnya, hatiku semakin teriris-iris. Namun biarlah luka itu menganga, asalkan kalian tidak menjadi korban berikutnya.

Dulu… aku pernah merasakan bahagianya pernikahan. Aku mencintai suamiku, dia pun mencintaiku. Meskipun hidup pas-pasan, rumah tangga kami diliputi kedamaian. Suamiku orang yang pekerja keras. Ia berusaha mendapatkan tambahan penghasilan untuk bisa ditabung seiring Allah mengkaruniakan seorang buah hati kepada kami. Kami pun berusaha hidup qanaah, mensyukuri nikmat-nikmat Allah atas kami.

Saat-saat paling membahagiakan bagi kami adalah ketika malam hari. Saat sunyi dini hari, anakku lelap dalam tidurnya, aku dan suami bangun. Kami shalat malam bersama. Suamiku menjadi imam dan aku larut dalam bacaan Qur'annya. Tak jarang aku menangis di belakangnya. Ia sendiripun juga tak mampu menahan isak dalam tilawahnya.

Entah mengapa. Mungkin karena kami melihat teman-teman yang telah punya mobil baru. Tetangga yang membangun rumah menjadi lebih indah. Mulai terbersit keinginan kami agar uang kami semakin bertambah. Suamiku tak mungkin bekerja lebih lama karena ia sudah sering lembur untuk menambah penghasilannya. Tiba-tiba aku tertarik dengan bisnis saham. Sebenarnya aku tahu sistem bisnis ini mengandung riba, tapi entahlah. Keinginan menjadi lebih kaya membutakan mataku.

"Ambil bisnis ini saja, Mas. Insya Allah kita bisa lebih cepat kaya," demikian kurang lebih saranku pada suami. Dan ternyata suamiku juga tidak menolak saran itu. Ia satu pemikiran denganku. Mungkin juga karena tergoda oleh rayuan iklan bisnis saham tersebut.

Akhirnya, kami membeli saham dengan seluruh tabungan yang kami miliki. Suamiku mengajukan kredit untuk modal usaha kami. Sejumlah barang yang bisa kami jual juga kami jadikan modal, termasuk perhiasan pernikahan kami.

Beberapa pekan kemudian, bisnis kami menunjukkan perkembangan meskipun tidak besar. Kami mengamati saham hingga ibadah-ibadah sunnah yang dulunya membahagiakan kami mulai keteteran. Tilawah tidak sempat. Shalat sunnah hilang diterpa kantuk dan lelah. Hidup mulai terasa gersang di satu sisi, tetapi kekayaan mulai tergambar di sisi lain.

Hingga suatu hari, tiba-tiba harga saham menurun drastis. Kami seperti terhempas dari ketinggian. Kami sempat berharap bisa bangkit, tetapi harga saham kami justru semakin terpuruk. Hutang kami semakin menumpuk. Cash flow keluarga kami berantakan.

Di saat seperti itu, emosi kami seperti tidak terkendali. Ada sedikit saja pemicu, aku jadi marah. Pun dengan suami. Ia jadi sering menyalahkanku karena menyarankan bisnis riba dengan modal riba pula. Aku pun membela diri dan mengatakan kepadanya, mengapa sebagai suami yang harusnya jadi imam malah mengikuti saran istri jika saran itu keliru. Pertengkaran memuncak. Aku tidak dapat menguasai diri.

"Kalau begitu, ceraikan saja aku," kataku malam itu.

"Ya, aku ceraikan kamu," jawab suami dengan nada tinggi.

Mendengar teriakan talak itu aku terhentak. Aku menangis. Anakku juga menangis. Tapi terlambat. Suamiku terlanjur pergi setelah itu.

Kini aku harus membesarkan anakku seorang diri. Sering sambil menangis aku membaca ayat:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS. Al Baqarah: 276)

Wahai para muslimah… qana'ah… qana'ah… Jangan menuntut suamimu lebih dari kemampuannya. Tak ada larangan untuk berusaha bersama-sama agar kondisi finansial menjadi lebih baik. Tetapi jangan sekali-kali terperosok dalam bisnis riba. Bahagia dalam hidup sederhana lebih baik daripada jiwa menderita karena cinta dunia.

Cukuplah aku yang berkata sambil menangis, "Dulu kami dipersatukan oleh ketaatan kepada Allah, lalu kami dipisahkan oleh kedurhakaan pada-Nya" [Ilmu/Kisahikmah.com]

*Diadaptasi dari kisah nyata dalam Sa'atan-Sa'atan yang ditulis Syaikh Mahmud Al Mishri dan Sirriyun lin Nisa'yang ditulis Syaikh Ahmad Al Qaththan

(Dikutip dari sini)


Cerita ini sarat dengan makna, kan? Namun sayangnya pesan yang disampaikan salah. Ini bukan soal riba, tapi lagi-lagi ini soal hutang. Entah ide jenius darimana hingga mereka mengajukan kredit modal usaha untuk diputarkan ke saham. Dan ketika hasilnya merugi parah, mereka memakluminya karena ini bisnis riba. Kalau rugi, dibilang riba. Kalau untung, dibilang apa? Saya cukup yakin jika ia dalam situasi yang berbeda dimana ia berhasil dalam investasi saham tersebut, maka cerita di atas tidak akan pernah ada. Inilah yang saya sebut dengan iming-iming. Sejatinya ia mengukir nama itu di atas batu atau kayu, tapi ia justru mengukir nama di udara yang artinya hasilnya tak akan pernah terlihat.

Bahkan investor kakap sekelas Warren Buffet pun sangat anti berhutang. Dan sememangnya investasi saham itu tak boleh dengan modal hutang, kecuali ada jaminan bahwa hutang tersebut akan segera dilunasi beberapa hari kemudian. (Ini sebabnya penggunaan margin ditolak keras oleh sebagian pelaku pasar, karena menggunakan duit hutang.) Alasannya sederhana, karena sangat sulit memastikan apakah sebuah saham akan segera naik atau tidak, sedangkan seiring berjalannya waktu, hutang pun harus segera dibayar.

Jujur saja, saya dulu juga punya ide gila seperti mereka. Saya terpikir untuk menggadaikan rumah saya dan modalnya hendak saya tanamkan semua di saham. Hitung-hitungan saya kalau portofolio bisa tumbuh 5% per bulan secara konsisten, maka setahun sudah 60%, sedangkan bunga cicilan paling tinggi hanya 18% per tahun. Jadi laba bersihnya 42% (60-18). Hitungan yang terlalu naif, bukan? Oh bukan naif, tapi idiot. Mencapai pertumbuhan 5% per bulan secara konsisten itu bukan pekerjaan yang gampang. Katakanlah saya punya modal Rp500 juta hasil dari menggadaikan rumah. Maka langkah selanjutnya adalah memilih saham. Berapa saham yang hendak dipilih? 1? 3? 5? 10? Secara akal sehat, saya akan berfikir bahwa 1-2 saham itu terlalu beresiko. Maka saya akan memilih 5 saham atau lebih, mengingat semakin banyak sahamnya, semakin kecil resikonya. Tapi sayangnya semakin banyak sahamnya, semakin lambat pertumbuhannya. Maka sedari awal saja situasinya sudah bak memakan buah simalakama. Waktu terus berjalan. Bulan depan saya sudah harus membayar cicilan gadai. Dalam kondisi bullish saya bisa bersorak gembira karena target 5% per bulan tercapai. Tapi begitu kondisi berubah jadi bearish, praktis dalam 2 minggu saya tidak bisa mengambil posisi beli karena khawatir harga akan berlanjut turun. Bayangkan 2 minggu tak menghasilkan apapun! Bagaimana jika berlanjut 4 minggu atau bahkan lebih? Bagaimana saya bisa membayar cicilan gadai? Situasi semakin meruncing, bukan? Tapi saya tak bisa memaksa pasar harus rebound seperti keinginan saya. Saya harus menunggu, entah berapa lama harus menunggu.

Psikologi trading saya pasti akan terganggu. Tak cuma itu saja, saya juga jadi malas untuk mengerjakan yang lain-lain. Hanya berharap harga akan segera pulih. Ini masih dalam konteks belum ada yang nyangkut. Andai sudah ada yang nyangkut, maka pusingnya tentu menjadi double. Kondisi tidak sehat seperti ini jika diteruskan, maka dampaknya akan semakin parah. Jika saya nekad menarik uang dari pokok modal untuk membayar cicilan, maka itu akan membuat potensi profit selanjutnya sudah pasti akan menurun. Jika itu terus saya lakukan, maka dikhawatirkan menjelang cicilan-cicilan terakhir saya sudah tak punya uang lagi. Bahkan sekalipun profit 30% dari saham, tetap tak bisa menutupi itu. Lantas bagaimana nasib saya jika tak berhasil membayar cicilan? Bagaimana nasib rumah saya? Ah saya tak berani memikirkannya terlalu jauh. Maka ide buat berhutang dengan cara menggadaikan rumah itu saya buang jauh-jauh.

Di artikel 7 Alasan Merevisi Sistem Trading Menjadikannya Tambah Parah saya menuliskan bahwa ada 2 kesalahan umum seorang trader yaitu sering menambahi beban dirinya dan kurang percaya diri. Berhutang itu menambah beban diri. Pada saat yang sama bukti bahwa ia kurang percaya diri kalau dimulai dengan modal yang kecil. Ini tak lain tak bukan karena sudah diliputi rasa tamak. Niat hati hendak memeluk bulan, apa daya tangan tak sampai. Besar pasak daripada tiang. Besarnya keinginan tak sebanding dengan kemampuan. Akhirnya buruk rupa, cermin dibelah. Akibat rugi di saham, maka serta merta menuduh bahwa ini adalah bisnis riba.

Do It Right
Jika kamu memutuskan untuk terjun ke bisnis ini, pastikan kamu melakukannya dengan cara yang benar. Saya menandai beberapa kesalahan pelaku kisah di atas antara lain :
  1. Sebenarnya aku tahu sistem bisnis ini mengandung riba, tapi entahlah. Keinginan menjadi lebih kaya membutakan mataku. "Ambil bisnis ini saja, Mas. Insya Allah kita bisa lebih cepat kaya."

    Jawab :
    Di bursa saham kita tak bisa mengendalikan harga. Artinya pergerakan harga itu mengikuti mekanisme pasar yang terbentuk akibat adanya supplai dan demand. Jika ini yang disebutnya riba, maka ia kudu mengkaji apa itu riba dan beragam jenisnya, sebelum buru-buru mengatakan bahwa bisnis ini mengandung riba. Kamu bisa menimbun beras sebanyak mungkin agar harga di pasar naik, tapi keuntungan tersebut jelas riba. Sebaliknya kamu bisa menimbun saham sebanyak yang kamu suka, tapi sayangnya tak ada jaminan bahwa harganya akan naik. Lantas, riba darimana? Andai keuntungan berdagang saham disebut riba, maka keuntungan berdagang pisang goreng pun bisa disebut riba. Karena apa? Karena apabila keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga yang notabene murni dikendalikan pasar disebut riba, maka keuntungan dari berdagang pisang goreng pun akan lebih riba lagi karena dikendalikan diri sendiri.
    Catatan :
    Apakah lantas itu menjadikan bisnis ini seperti judi (karena kita tak punya andil dalam penentuan harga dan semata-mata berharap dari keberuntungan pasar)? Spekulasi iya, tapi judi tidak. Setiap kali kamu berhadapan dengan pasar, ada penjual, ada pembeli, ada barang, ada harga, maka fikirkanlah segala keputusan yang akan kamu ambil nanti akan selalu bersifat spekulasi, tapi jelas bukan judi , karena judi tidak membutuhkan pasar sebagai medianya, tidak butuh barang (semua hal bisa dijadikan objek taruhan), dan tidak ada sebutan pembeli / penjual, melainkan penjudi (gambler) juga dan tak ada istilah lain untuk menggantikannya. Berhati-hatilah dalam menyimpulkan. Kalau memang tak mengerti, tanyakan pada yang lebih paham. Ingatkan saya untuk membahas bagaimana duduk perkara saham ini sebenarnya agar kamu bisa melihat seperti yang saya lihat.
    Niat awal saja sudah keliru sekali. Kita tidak akan pernah bisa berhasil di bisnis ini atau bisnis manapun kalau niat awalnya ingin cepat kaya. Niat seperti itu cuma akan membuat gelap mata sehingga rela menempuh beragam cara agar niat tersebut tercapai. Akhirnya kita menjadi lengah terhadap kelemahan diri sendiri dan tak mampu melihat kekurangan diri. Sibuk mengejar-ngejar profit agar cepat kaya. Kalau kamu adalah salah seorang yang terjun ke bisnis saham dengan niat ingin cepat kaya, saran saya perbaiki dan luruskan kembali niatmu itu. Fikirkanlah lagi. Kalau memang ingin cepat kaya, maka saham bukanlah pilihanmu.
  2.  
  3. Akhirnya, kami membeli saham dengan seluruh tabungan yang kami miliki. Suamiku mengajukan kredit untuk modal usaha kami. Sejumlah barang yang bisa kami jual juga kami jadikan modal, termasuk perhiasan pernikahan kami.

    Jawab :
    Totalitas di bisnis ini memang bagus, tapi bukan serta merta mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya, lalu menanamkannya semua ke saham. Belajar dulu yang benar lah. Uang tabungan sudah dipakai. Perhiasan sudah dijual. Apa masih kurang banyak? Buat apa lagi mengajukan kredit? Ini kebabablasan namanya.
  4.  
  5. Kami mengamati saham hingga ibadah-ibadah sunnah yang dulunya membahagiakan kami mulai keteteran. Tilawah tidak sempat. Shalat sunnah hilang diterpa kantuk dan lelah.

    Jawab :
    Kenapa bisa begitu? Buat apa mengamati saham sampai larut malam? Mau mengamati apa? Lah pasar saham tutup jam 4 sore kok. Jika trading tetap dilakukan pada malam hari, maka saya curiga mereka tidak sedang berinvestasi saham, melainkan trading forex. Saya seorang muslim. Jadi tahu persis bahwa meskipun sibuk trading, tilawah dan sholat malam itu tetap terjaga dan tak terganggu dengan aktivitas trading.
  6.  
  7. ....tetapi harga saham kami justru semakin terpuruk. Hutang kami semakin menumpuk.

    Jawab :
    Inilah keputusan yang amat keliru dan fatal. Kenapa berhutang? Siapa yang menyuruh untuk berhutang? Penjelasan soal ini sudah saya jelaskan pada tulisan di atas.
Semoga menjadi pelajaran berharga buat kita semua. Ini adalah bisnis yang serius, plus guru yang kejam. Jika kamu tidak hati-hati dalam mengambil keputusan, maka pasar akan dengan mudah menyapu bersih modal-modalmu, persis seperti pedagang yang gerobaknya hancur lebur ditabrak truk. Wallahu a'lam bissawab.

Related Post



Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...