Saya yakin kamu pun pernah mengalami hal yang persis sama. Tergoda membeli saham secara masif hanya karena melihat saham lain di sektor yang sama sudah rally lebih dulu, saya sebut sebagai pengambilan keputusan yang brutal dengan pendekatan analisis yang buruk sekali. Sekali waktu analisanya tepat, tapi sekali waktu justru berakhir mengenaskan, nyaris fatal. Sial sekali, bukan? Pasar seolah-olah memperlakukan saham yang satu seperti anak kandung, dielus, disayang, dijaga, tapi saham yang lain seperti anak tiri, ditampar, dijambak, dan ditendang. (Ya tentu saja tidak semua anak tiri diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Ini hanya perumpamaan saja, bukan bermaksud menyindir siapa-siapa, bukan pula menyamaratakan bahwa ibu tiri akan seperti itu.)
Kenapa 2 saham dalam satu sektor bisa bergerak berlawanan satu sama lain? Tidakkah saham-saham satu sektor memiliki korelasi yang kuat? Tidak juga. Terkadang saham tersebut justru memiliki nilai korelasi lebih kuat di saham sektor lain. Lantas mana yang mau dipercaya? Saham satu sektornya atau saham lain yang memiliki korelasi yang kuat dengannya?
Contoh kasus :
Tanggal 17 September 2015 saya mencoba menscanning saham GJTL dan mencari saham-saham mana yang memiliki korelasi kuat dengannya dalam kurun waktu 10 hari terakhir. Hasilnya ASII 57%, AUTO -25%, INDS 20,5%, LPIN 31,7%, MASA -64,8%. Itu merupakan saham-saham yang punya relasi dengannya. Sedangkan UNTR 75,7%, BISI 75,3%, AALI 71,0%, notabene saham-saham yang tak ada sangkut pautnya dengan GJTL. Kontras sekali, bukan? Berpatokan pada hasil ini, jika trader ingin mengambil GJTL, maka mestinya melihat apakah UNTR, BISI, atau AALI juga ikut bergerak atau tidak. Metode ini biasanya digunakan untuk melihat mana saham yang terlambat naik, padahal saham-saham lain yang berkorelasi kuat dengannya sudah lebih dulu naik. Tehnik ini memang masuk akal, tapi saya sangat tidak merekomendasikannya. Tanggal 21 September 2015, hari dimana GJTL naik +25%, nilai korelasinya terhadap saham-saham di atas sudah sangat berubah.
Bagaimana jika periode korelasinya diperpanjang, misalnya 100 hari? Ya silahkan saja, tapi saya sulit memahami bagaimana ceritanya menilai korelasi 2 saham atau lebih dalam periode 100 hari, sedangkan dalam periode 10 hari pun belum tentu tepat. Hanya sekedar pengukuran statistik di atas kertas tanpa bisa dieksekusi. Lantas, buat apa kita lakukan itu? Kita akan terjebak dalam logika korelasi yang tak masuk akal. Semakin panjang periode korelasinya, semakin tak masuk akal nilainya. Dua saham mungkin akan terlihat bergerak sama seiring sejalan dalam rentang waktu yang singkat, tapi jangan berharap mereka akan tetap demikian dalam rentang waktu yang lebih panjang.
Jika kamu memahami analisa teknikal, kamu akan paham bahwa tiap-tiap saham itu bisa dianalisa secara tunggal, tanpa harus repot-repot mencari korelasinya dengan saham lain. Tak cuma itu saja, kamu pun sebenarnya tak perlu repot mencari korelasinya dengan IHSG. Kapan naik, kapan turun, itu disebut sebagai momentum. Pemicu momentum ini banyak macam. Kalaupun salah satu pemicu momentum itu adalah korelasi, maka saya yakin porsinya akan sangat kecil sekali.
Saya merupakan salah satu contoh trader yang sudah sangat muak terjebak di ilusi korelasi ini. Benar bahwa saham itu punya korelasi satu sama lain, tapi tidak serta merta ia harus persis bergerak seperti teman-temannya. Lain lubuk, lain ikannya. Lain saham, lain pula penjaganya. Sebagai gantinya, saya terus memperdalam analisa teknikal dan benar-benar memperlakukan saham itu sebagai entitas yang tunggal. Suatu ketika saya melihat ada korelasi kuat antara BSDE dengan ASRI, dimana tiap kali ASRI naik, maka akan diikuti oleh BSDE. Tak dinyana, hasil akhirnya jauh berbeda. Ketika ASRI mencetak 6-7%, BSDE hanya berkutat di 1-2%. Bahkan esoknya ASRI flat, BSDE malah minus. Ya memang bukan salah siapa-siapa, melainkan salah saya sendiri yang keliru dalam menyikapi nilai korelasi ini. Di waktu yang lain BSDE rally hingga 6%, ASRI malah minus.
Perhitungan korelasi selalu berpatokan pada nilai yang sudah terjadi, tak peduli apakah menggunakan periode 10 hari, 30 hari, 50 hari, 100 hari, 200 hari. Misalnya korelasi 100 hari 80%, artinya dalam 100 hari ini pergerakan saham A dan saham B identik 80%. Ini tentu menjadi korelasi yang cukup kuat dengan nilai yang meyakinkan, bukan? Bayangkan dalam 100 hari terakhir pergerakan saham A dan B identik 80%. Hmm... ini rada tak masuk akal. Terlebih lagi nilai ini tak menjamin saham B akan bergerak sama tinggi atau sama rendah dengan saham A. Ini pernah saya temukan di AALI dan LSIP dimana korelasi 100 harinya sebesar 80%. Ketika AALI sudah rally di atas >25%, LSIP justru tertinggal di 15%. Di lain waktu, LSIP bisa rally 5%, sedangkan AALI hanya 2%. Tak ada penilaian apapun dari korelasi ini yang bisa memberikan petunjuk bahwa kedua saham akan bergerak sama tinggi atau sama rendah, selain bahwa keduanya punya korelasi yang kuat. Itu saja. Tak lebih. Tak kurang. Hanya sekedar pengukuran statistik di atas kertas tanpa bisa dieksekusi.
Apakah penilaian korelasi itu penting? Ini tergantung metode analisa yang kamu pakai. Metode yang saya pakai tidak memerlukan penilaian korelasi. Saya coba buang jauh-jauh variabel korelasi ini, karena saya tak mau terjebak dalam kondisi trading dengan harap. Saya yakin masing-masing saham punya targetnya sendiri, punya gerakannya sendiri, punya ciri khasnya sendiri, dan sebagainya. Seperti manusia saja, saham itu punya kebebasannya sendiri. Walaupun sering terlihat bergerak berbarengan dengan saham lain, tapi tak menjadikannya kehilangan kebebasan untuk menentukan arahnya sendiri. Be Logical. Be Simple. Be A Trader!
Post a Comment