Pencabutan Subsidi
Dari ceicdata dikatakan bahwa import BBM merupakan penyebab utama terjadinya defisit neraca perdagangan akibat beban APBN yang membengkak.
Tabel di atas menunjukkan bahwa defisit neraca perdagangan itu sebenarnya sudah dimulai sejak Q4 2011 lalu. Defisit itu kian melebar hingga sekarang.
Selanjutnya tabel di bawah ini menunjukkan bahwa memang nyata benar setiap tahunnya subsidi buat BBM ini bukannya menurun, malah tambah membengkak tidak karuan sebagai rangkaian akibat-akibat yang sudah dijelaskan pada tulisan di atas. (Catatan : Pada saat bersamaan penerimaan CPNS banyak dibuka, padahal untuk menggaji PNS pun harus merogoh kocek APBN.)
Sudah diketahui dari dulu mafia migas menolak keras pencabutan subsidi BBM. Tujuannya supaya aktivitas impor minyak akan terus berlangsung dengan menggunakan APBN. Jika neraca perdagangan terus defisit, dan rupiah semakin tertekan, mereka yang menghasilkan uang haram ini dalam kurs dollar akan menumpuk pundi-pundi uang lebih banyak lagi. Sampai kapan ini akan berlangsung?
Apabila subsidi BBM dicabut, maka yang paling pertama merasakan pahitnya adalah rakyat, namun ini pula yang menjadi cara jitu buat menghantam mafia migas, dengan catatan mafia tersebut tidak kemudian hinggap di sumber energi alternatif lain. Karena jika BBM mahal, pemerintah harus siap dengan energi alternatif dan pilihannya adalah BBG (bahan bakar gas). Tapi sayangnya dengar-dengar di BBG pun ada mafia-nya. Duh! Ini benar-benar hama yang susah sekali dibasmi.
Harga BBM akan naik 40% dimana porsi dan momentum kenaikannya masih dibicarakan oleh pemerintahan SBY dengan pemerintahan baru nanti. Maka bensin akhirnya nanti akan menjadi Rp9100,- per liter. Dengan rincian seperti itu, mau BBM dinaikkan atau tidak pun jadi serba salah. Jika BBM dinaikkan (artinya tanpa subsidi), kita perlu tahu sebenarnya harga jual BBM tanpa dimarkup itu berapa? Jika memang Pertamina mendistribusikan BBM, katakanlah hanya dengan profit $1,1 per barel, maka harga pasaran BBM itu rata-rata menjadi Rp6650,- Perhitungannya sbb :
Margin profit $1 per barel (1 barel = 159 liter) dan kurs Rp9500/USD, maka harga jual ke pasar menjadi : ($110 + $1,1) x Rp9500/ 159 = Rp6638 ~ digenapkan jadi Rp6650,-
Dengan kurs Rp11700 saat ini, maka harga BBM per liter menjadi Rp8175 ~ digenapkan Rp8200.
Untuk jelasnya, saya coba rangkumkan ke dalam tabel berikut ini.
Sori kalau tabelnya saya corat-coret. Saya hobi corat coret soalnya. Perkiraan harga pokok BBM di atas sudah memperhitungkan harga beli $110 per barel dan margin profit buat Pertamina sebesar $1,1 per barel. Dari tabel di atas saya mau menjelaskan bahwa semenjak tahun 2011 lalu kita tampak berkejar-kejaran dengan BBM ini. Coba lihat angka-angka yang saya lingkari tersebut. Tahun 2011 - 2012 harga BBM di pasar Rp4500,- per liter. Andai saja pemerintah punya nyali untuk menaikkan harga BBM ke Rp6500 saat itu, sebenarnya kita pun sudah hampir lepas dari subsidi. Tapi eh ternyata tidak. Malah tahun 2013 naiklah harga BBM ke Rp6500,- (?) Lho kok jadi kejar-kejaran begini?
Nah, sekarang ini harga akan dinaikkan 40%, yang mana itu sebenarnya harus sudah dilakukan awal 2013 lalu. Andai kali ini pun kenaikan BBM ditunda-tunda lagi, bisa-bisa kita akan berkejar-kejaran terus dengan harga BBM subsidi. Kenapa harga BBM kok naik? Karena rupiah melemah. Kenapa rupiah melemah? Karena beban impor yang besar, yang sebagian besar ya karena mengimpor BBM.
BBM ditunda kenaikan neraca perdagangan keburu defisit rupiah melemah dollar naik BBM naik ke target harga pokok sebelumnya.
Ini namanya cari penyakit sendiri. Harga minyak sendiri tidak kemana-kemana. Masih pake acuan $110. Malah dari awal September 2013 lalu harga minyak merosot hingga sekarang. Nah, kurang toleransi apalagi hitungan di atas?
Dari grafik di atas, kalau kita adjust harga acuan menjadi rata-rata $100 per barel dan ditambah dengan profit $1,1 tiap barelnya, maka harga BBM akan menjadi sbb :
Saya yakin banyak pihak yang berkepentingan dalam menentukan harga acuan pembelian BBM ini. Ini rawan dimark-up (seperti yang saya paparkan pada artikel bagian pertama). Beli BBM itu bukan seperti beli barang di supermarket, ambil - bayar - bawa pulang. Di komoditas jual beli harus dengan kontrak. Ini untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang tidak diharapkan. Misalnya Indonesia punya kontrak beli minyak di harga $110. Nanti walaupun harga minyak naik sampai $200 sekalipun, Indonesia tetap bisa beli di harga $110. Itulah yang disebut future. Jadi bukan berarti harga minyak naik $200, lantas harus beli di $200 juga. Tergantung dia pegang kontrak buat beli di harga berapa. Soalnya harga komoditas itu kayak roller-coaster. Lah kalau diikuti gerakan roller-coasternya, bisa-bisa pembeli dan penjualnya pada muntah darah saking maboknya. Itulah gunanya pake kontrak future. Kita coba hitung kalau harga acuan itu dinaikkan bukan $110, tapi jadi $124,5, maka hasilnya akan jadi sbb :
Harga pokok di atas sudah memperhitungkan profit Pertamina sebesar $1,1 per barel. Kalau masih ada selisih, itu selisihnya buat siapa? Dengan Excel, saya coba adjust harga mulai dari $120 s/d $135, dan akhirnya nemu angka $124,5 dimana nilai yang dihasilkannya mirip sekali dengan target BBM pasca kenaikan nanti. Padahal kalau mengikuti acuan harga minyak dunia, mestinya harga BBM tertinggi hanya Rp7300, bukan Rp9100. Tapi memang butuh waktu untuk membuktikan ini, karena tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan sebenarnya dari dulu Indonesia sudah bisa lepas dari subsidi BBM. Berkaca pada Iran, saat pemerintah mencabut subsidi BBM-nya, pemerintah sudah harus mempersiapkan energi alternatif pengganti BBM. Dalam hal ini adalah Gas. Indonesia punya cadangan gas yang cukup buat 50-100 tahun ke depan. Jika program pengalihan energi dari BBM ke energi alternatif berhasil, maka dengan sendirinya permintaan terhadap BBM akan menyusut tajam, sehingga mafia migas tidak lagi mendapat 'jatah' duit haram.
Kesimpulannya saat ini sbb :
- Cabut subsidi (karena memang dari awal subsidi ini tak jelas asal usulnya).
- Kurangi impor BBM. Dengan mengurangi impor, maka mafia migas yang berlakon kayak benalu pelan-pelan akan mati lemas. Kalau memang masih sangat sulit mengurangi impor BBM, maka kawal penentuan harga acuan pembelian BBM itu dan cek berapa margin profit untuk setiap barel BBM yang didistribusikan Pertamina di dalam negeri.
- Segera konversi ke gas. Konversi BBM ke BBG harus difasilitasi pemerintah karena butuh dana yang tak sedikit. Belajarlah pada Iran soal konversi ini.
- Kawal BBG. Saat ini Indonesia pun impor gas. (Bah! Indonesia merupakan negara dengan cadangan gas terbesar no 14 di dunia, tapi malah impor gas?) Kawal itu. Dimana ada ekspor impor, di situ ada mafia yang bermain. Jangan sampai lepas dari mulut macan malah masuk ke mulut buaya.
- Segera usut biang kerok mahalnya BBM dalam negeri. Apakah memang ada indikasi markup atau tidak? Kalau memang ada, hitung berapa jumlahnya, dan berapa total yang harus dikembalikan buat negara.
- Kita tunggu pertamina go public seperti anak usahanya PGAS. Kenapa? Karena setiap perusahaan yang go public, harus memberikan laporan keuangannya ke BEI dan itu bisa diunduh gratis oleh siapa saja. Dan saya ingin sekali tahu bagaimana isi perut perusahaan ini sebenarnya. Apakah LK ini bisa dipalsukan? Ya coba sajalah, kalau memang tidak takut kena 'getok' BEI. :D
Selanjutnya saya akan jelaskan alasan saya kenapa topik ini menjadi penting buat investor.
(Bersambung)
Update tanggal 17 November 2014 (30 menit menjelang resmi kenaikan harga BBM)
Pukul 21.00 WIB Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dengan rincian sbb : harga premium naik sebesar Rp 2.000 per liter dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 dan untuk solar naik sebesar Rp 2.000 per liter dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500.
Untuk harga premium, coba bandingkan dengan tabel di atas. Sangat mendekati bukan? Awalnya niat pemerintah menaikkan hingga Rp9100, tapi akhirnya turun menjadi Rp8500 dan mestinya inilah harga BBM kita sejak 2 tahun yang lalu. Harapan kita semoga tidak akan ada lagi kenaikan BBM untuk tahun-tahun mendatang. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Post a Comment