Syarat OPEC adalah memproduksi 1,2 juta bph. Karena tidak memenuhi syarat, Indonesia akhirnya keluar dari OPEC tahun 2008 karena sudah net import minyak sejak 2003. Rencananya tahun 2013 akan bergabung ke OPEC lagi apabila berhasil menaikkan volume produksi, tapi hal itu tidak kunjung terbukti hingga ini hari.
Ini catatan kecil tentang kebutuhan minyak Indonesia vs produksinya :
Kebutuhan minyak Indonesia : 1,5 juta bph
Produksi minyak Indonesia terus menurun :
2010 : 945 ribu bph
2011 : 901 ribu bph
2012 : 862 ribu bph
2013 : 850 ribu bph
2014 : 795 ribu bph
Forecast produksi tahun 2016 : 905.000 bph. Berdasarkan perencanaan jangka panjang yang dibuat SKK Migas, inilah level tertinggi yang bisa dicapai Indonesia (berkaitan dengan teori peak oil yang sudah dijelaskan di atas), dan setelah itu produksi akan menurun tajam hingga 2050 produksi minyak nasional hanya 332.000 bph. Penurunan rata-rata 2.9% per tahun. Ini dengan asumsi tidak ditemukannya cadangan minyak baru.
Forecast konsumsi tahun 2025 : 2 juta bph.
Forecast produksi tahun 2025 : 694.000 bph, atau masih kurang 1,3 juta bph. Jumlah kekurangan ini akan meningkat setiap tahunnya. Apakah itu artinya Indonesia harus impor terus selamanya?
Kabarnya mafia Migas bisa melakukan markup sebesar $1-3 per barel baik untuk ekspor maupun impor minyak. Sehingga perkiraan kasar uang haram yang mereka hasilkan dari impor minyak tahun 2013 lalu adalah : 365 hari x (1,5 juta - 850 rb barel) x $3 = $711 juta atau setara dengan Rp8,6 T (kurs Rp12.000/USD). Semakin terpuruk nilai rupiah, maka semakin banyak pundi-pundi uang yang dihasilkan mafia ini karena penilaian dalam US dollar.
Illustrasi Perhitungan
Sekarang kita coba crosscheck dengan data-data yang ada. Walaupun belum tentu akurat 100%, tapi setidaknya ada gambaran lebih rinci yang bisa kita dapatkan nanti.
Direktur Eksekutif Petromine Watch Indonesia, Urai Zulhendri pada 13 Juni 2013 mengaku mendapat kabar dari salah seorang sumber di Pertamina yang mengungkap, bahwa istilah ‘subsidi’ oleh sumber tadi ternyata hanya kebohongan Pemerintah dan Pertamina. Sumber di Pertamina mengakui dirinya juga perih menyaksikan kerakusan para pejabat di Pertamina. Harga premium dan solar dari Russian Oil itu cuma $425 per metrik ton (sekitar $60,7 per barel atau kurang dari Rp4.300,- per liter).
Lalu melalui Petral angka senilai $425 itu di mark up $300 sehingga menjadi $725 per MT ($103,5 per barel), dan oleh Pertamina disempurnakan mark up nya menjadi $950 ($135,7 per barel). Angka inilah yang kemudian menurut seorang sumber di Pertamina disebut sebagai harga pasar yang mengharuskan adanya istilah ‘subsidi’.
Kita akan cari tahu apakah info itu benar atau tidak. Untuk itu kita butuh 2 data, yaitu :
- Apakah ada Indonesia mengimpor minyak dari Rusia? Kalau memang ada, berapa jumlahnya?
- Apakah benar Rusia menjual minyak sebesar $60,7 per barel, sedangkan kita tahu saat itu harga minyak sudah di atas $80 per barel?
Harga minyak tahun 2011 s/d 2013 relatif flat yaitu pada rata-rata : $110/ barel. Malah sempat jeblok ke $90 pertengahan Juni 2012.
Berdasarkan keterangan di atas, Indonesia mengimpor minyak dari Rusia sebanyak 3.962.209 ribu barel atau 10.855 bph. Pertanyaan pertama terjawab. Indonesia memang ada mengimpor minyak dari Rusia yaitu sebesar 4,1% dari total keseluruhan. Sekarang kita hitung :
(1 metric ton = +/- 7 barrel)
Untuk minyak dari Rusia, total markup : $950 - $425 = $ 525 per MT = $ 75 barel ~ markup 123%!! (estimasi awal $1-3 per barel)
Jika per barel dimarkup sebesar $75, maka uang haram yang mereka hasilkan dari impor minyak tahun 2013 lalu adalah : 3.962.209 barel x $75 = $297 juta. Dengan kurs rata-rata Rp9500/USD, maka nilai ini setara dengan Rp2,8 T.
Untuk minyak dari Saudi Arabia, dengan asumsi harga minyak rata-rata $110 per barel dan dimark-up menjadi $135,7 per barel, maka total markup : $135,7 - $110 = $25,7 atau 23%. Maka uang haram yang mereka hasilkan adalah : 37.284.723 barel x ($135,7 - 110) x Rp9500 = Rp9,1 T.
Sampai di sini total uang haram tersebut adalah : Rp2,8 T + Rp9,1 T = Rp11,9 T dengan kurs Rp9500 (melampaui estimasi Rp8,6 T dengan kurs Rp12000). Sisanya tidak dihitung terlalu detail lagi, karena dengan asumsi markup $3 per barel saja rata-rata uang haram yang dihasilkannya itu sekitar Rp350 milyar, bagaimana pula kalau markup-nya di atas itu?
Catatan :
Kenapa Rusia menjual minyak murah seperti itu? Karena ada agenda besar US buat menjatuhkan Vladimir Putin. Putin adalah pembenci Amerika, dan Amerika pun tidak percaya Putin. Maka dengan cara menghantam harga minyak Rusia yang notabene setengah dari pendapatan negaranya, diharapkan Putin pun akan jatuh, tapi hingga ini hari pun Putin masih tak bergeming. Diperkirakan hingga tahun 2016, Rusia tetap menjual minyaknya di kisaran harga $40-60 per barel, lalu setelah itu naik menjadi $80 per barel hingga tahun 2030. Maka pertanyaan kedua pun terjawab.
Selanjutnya saya akan tulis tentang logika pencabutan subsidi.
(Bersambung)
Updated (05/11/2014):
Hitung-hitungan kasar yang saya lakukan di atas ternyata hasilnya lebih kurang sama dengan yang dilakukan oleh peneliti lain.
Cek di sini :
http://www.aktual.co/energi/151906berantas-mafia-migas-negara-hemat-rp11-triliun
http://migasreview.com/subsidi-energi-terkendali-negara-hemat-rp-15-triliun.html
Post a Comment