Pasar saham dikatakan sepi jika total transaksi harian menurun. Di BEI transaksi harian rata-rata Rp4-5 Trilliun. Jika dalam sehari tidak tercapai jumlah segitu, maka bisa dikatakan pasar saham sedang sepi. Pasar yang sepi ini bisa terjadi karena jumlah pembeli yang kurang atau jumlah penjualnya yang memang sedikit. Kalau pembeli kurang banyak, maka penjual pun tidak bisa menjual barangnya terlalu banyak. Sebaliknya, jika penjualnya kurang banyak, maka pembelinya pun tidak bisa memborong barang banyak-banyak. Idealnya, di saat demand tinggi, maka dengan sendirinya supplai akan tertekan rendah. Jika supplai tinggi, maka demand akan tertekan rendah. Tapi sering terlihat antara supplai dan demand ini sering terlihat seimbang. Pasar sedang ragu-ragu, itu yang sering disimpulkan. Ragu-ragu karena apa, tidak ada yang memberikan penjelasan.
Memang dari pengalaman saya pribadi, pasar menjadi sepi karena sedang mengantisipasi sesuatu yang jelek. Misalnya ancaman krisis, ketidakpastian politik dan ekonomi, yang biasanya berujung pada capital outflow. Capital outflow membuat likuiditas di pasar akan kering, yang pada ujungnya membuat volume transaksi menurun. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab yang membuat pasar jadi sepi. Tak jarang justru sepinya pasar tanpa penyebab yang jelas. Tidak ada capital outflow. Tidak ada berita jelek. Kondisi ekonomi mungkin tidak begitu bagus, tapi masih dalam batas-batas yang bisa ditoleransi. Nah, dalam kondisi seperti ini, saya sering berasumsi bahwa pasar sepi karena para market mover sedang merotasi atau menyusun ulang portofolionya. Butuh waktu untuk melakukan itu tanpa membuat kepanikan di pasar. Bukan apa-apa, ketika pasar sedang bagus, tapi justru ambruk gara-gara strategi jualan yang keliru, maka para market mover jadi sulit jualan buat merotasi portofolionya. Apa mau men-short barang sendiri? Semua harus dihitung secara cermat.
Ketika gerakan pasar membentuk anomali dengan capital flow, maka biasanya itu membentuk sinyal, entah itu akumulasi atau distribusi.
Post a Comment